Empat Kaedah Memahami Nama Dzat Allah dan Sifat Dzat-Nya | UD. Elrasheed Publisher | 082140888638
![]() |
Terjemah Kitab Asy-Syifa 082140888638 |
Imam Fakhruddin Ar-Raziyy menguraikan dalam kitab tafsirnya,
Pertama, nama (ism) itu ada yang bersifat kulliyy (universal) atau juz’iyy (partikular); yang dimaksud dengan kulli adalah makna yang, ketika dibayangkan, tidak mencegah kemungkinan adanya sekutu, dan yang dimaksud dengan juz’iyy adalah makna yang, ketika dibayangkan, mencegah adanya sekutu, yakni lafazh yang menunjukkan sesuatu dari segi bahwa ia adalah yang tertentu itu. Jika ia yang pertama (kulliyy), maka yang ditunjuk oleh nama itu bukanlah hanya Tuhan Yang Maha Suci, sebab ketika makna dari nama itu adalah sesuatu yang tidak mencegah adanya sekutu (bahwa selain Allah bisa memiliki nama tersebut), sedangkan Dzat-Nya yang tertentu itu Mahasuci lagi Maha Tinggi mencegah adanya sekutu, maka pasti yang ditunjuk oleh nama itu bukanlah Tuhan. Maka semua nama yang bersifat musytaq (turunan), seperti Ar-Raḥmān, Ar-Raḥīm, Al-Ḥakīm, Al-‘Alīm, Al-Qādir, tidak mencakup Dzat-Nya secara khusus dan tidak menunjukkan kepada-Nya sedikit pun; dan jika ia yang kedua (juz’iyy), maka itu disebut dengan ism ‘alam (nama diri/proper name), dan nama itu menempati kedudukan seperti isyarat, sehingga tidak ada bedanya antara ucapan “Yā Zaid” dengan ucapan “Yā anta” atau “Yā huwa”. Dan ketika ‘alam itu berkedudukan seperti isyarat, maka ‘alam adalah cabang sedangkan lafazh isyarat adalah asal, dan asal lebih mulia daripada cabang; maka ucapan kita “Yā anta, Yā huwa” lebih mulia daripada seluruh nama secara keseluruhan, hanya saja perbedaannya ialah bahwa “anta” mencakup yang hadir dan “huwa” mencakup yang ghaib, dan ada rahasia lain bahwa “huwa” hanya benar diucapkan apabila dalam akal telah hadir gambaran sesuatu itu, dan ucapanmu “huwa” mencakup gambaran itu ketika ia hadir, sehingga kembali pada kesimpulan bahwa “huwa” juga tidak mencakup kecuali yang hadir.
Kedua, telah kami buktikan bahwa hakikat Tuhan itu disucikan dari segala macam susunan, dan Al-Fard Al-Muṭhlaq (Yang Tunggal dan Mutlak) tidak mungkin diberi sifat, karena pemberian sifat menuntut adanya perbedaan antara yang disifati dan sifatnya, dan ketika terjadi perbedaan itu, tidak tersisa lagi ketunggalan; demikian pula tidak mungkin diberitakan tentang-Nya, karena pemberitaan menuntut adanya yang diberitakan dan yang memberitakan, dan hal itu bertentangan dengan ketunggalan. Maka tetaplah bahwa semua nama hasil derivasi/turunan tidak sanggup sampai pada hakikat sejati Tuhan, sedangkan lafazh “huwa” sampai kepada hakikat tunggal yang suci dari segala arah kemajemukan, sehingga lafazh ini, karena sampai kepada inti hakikat itu, wajib lebih mulia daripada semua lafazh lain yang mustahil sampai kepada inti hakikat tersebut.
Ketiga, lafazh-lafazh musytaq (turunan/derivasi) menunjukkan adanya sifat yang melekat pada Dzat, namun hakikat sifat-sifat Tuhan itu pun tidak diketahui kecuali melalui bekas-bekasnya yang tampak di alam kejadian; maka tidaklah diketahui dari ilmu-Nya kecuali bahwa ia adalah perkara yang dengannya menjadi benar terjadinya pengaturan dan penyempurnaan, dan tidaklah diketahui dari kekuasaan-Nya kecuali bahwa ia adalah perkara yang dengannya menjadi benar terjadinya perbuatan dan penahanan dari perbuatan. Maka sifat-sifat ini tidak mungkin kita pahami kecuali dengan memperhatikan keadaan-keadaan yang berbeda di alam kejadian; karena itu, lafazh-lafazh turunan tidak menunjuk kepada Tuhan Yang Maha Suci semata, melainkan menunjuk kepada-Nya dan kepada alam kejadian sekaligus, dan orang yang memandang dua hal tidaklah sempurna dalam memandang masing-masing darinya, melainkan menjadi kurang dan terbatas. Maka semua nama turunan tidak memberi manfaat pencurahan penuh dalam maqam mengenal Tuhan, bahkan seakan-akan menjadi penghalang antara hamba dan pencurahan penuh dalam mengenal Tuhan. Adapun lafazh “Huwa” maka ia adalah lafazh yang menunjukkan kepada-Nya dari segi bahwa Dia adalah Dia, bukan dari segi adanya hubungan atau perbandingan dengan alam kejadian; maka lafazh “Huwa” menyampaikanmu kepada Tuhan dan memutuskanmu dari selain-Nya, sedangkan nama-nama selainnya tidak memutuskanmu dari selain-Nya, sehingga lafazh “Huwa” menjadi lebih mulia.
Keempat, bukti-bukti yang telah disebutkan sebelumnya telah menunjukkan bahwa sumber keagungan dan kemuliaan adalah Dzat, dan bahwa Dzat-Nya tidak menjadi sempurna karena sifat-sifat, melainkan Dzat-Nya, karena kesempurnaannya, menuntut adanya sifat-sifat kesempurnaan; dan lafazh “Huwa” menyampaikanmu kepada sumber rahmat, kemuliaan, dan ketinggian itu, yaitu Dzat, sedangkan lafazh-lafazh lainnya tidak menghentikanmu kecuali di tingkatan sifat-sifat dan keterangan-keterangan. Maka lafazh “Huwa” adalah yang lebih mulia. Inilah yang terlintas dalam pikiran dalam mengungkap rahasia lafazh “Huwa”, dan kepada-Nyalah harapan agar Dia menerangi dada dan rahasia kami dengan setetes kilau dari cahaya-cahayanya, dan menyegarkan akal dan ruh kami dengannya, sehingga kami terbebas dari sempitnya alam kejadian menuju kelapangan tangga-tangga keabadian, dan naik dari dasar kegelapan sifat kemanusiaan menuju langit-langit cahaya, dan yang demikian itu bukanlah hal yang sulit bagi-Nya.
![]() |
Terjemah Kitab Asy-Syifa 082140888638 |
Post a Comment