Header Ads

Allah Asy-Syafi (Maha Penyembuh) Kadangkala Kita Lebih Bagus Tidak Berobat | Kajian WhatsApp | Majelis Daruz Zahro wal Batul | Brilly El-Rasheed


Allah Asy-Syafi (Maha Penyembuh) Kadangkala Kita Lebih Bagus Tidak Berobat | Kajian WhatsApp | Majelis Daruz Zahro wal Batul | Brilly El-Rasheed


Majelis Daruz Zahro wal Batul, sebuah komunitas santri virtual milenial hijrah yang didirikan Ustadzah Humaira Arshad Mahendra rutin menggelar berbagai event. Komunitas Daruz Zahro mencatat keanggotaan lebih dari 500 member dari berbagai provinsi di Indonesia bahkan dari Malaysia. Komunitas Daruz Zahro bersifat tidak komersil, full dakwah, santri sama sekali tidak mengeluarkan biaya, para pengajar pun volunteer (sukarelawan). Untuk bergabung menjadi santri bisa menghubungi WhatsApp +60143571498. Daruz Zahro sudah bergerak dalam dakwah digital sejak 2019, dengan banyak pengasuh kajian dari kalangan Ustadz/Ustadzah dan Habib/Syarifah. Salah satu event setiap hari Selasa malam dibersamai Ustadz Brilly El-Rasheed (H. Brilly Y. Will., S.Pd., M.Pd., C.Ed.).

Pada Selasa 26 Agustus 2025, bakda 'Isya Waktu Indonesia Barat (WIB), Daruz Zahro wal Batul menghelat acara spesial yakni talaqqi kitab. Biasanya hanya kajian tematik atau ngaji kitab yang disampaikan mayoritas satu arah oleh Ustadz Brilly, meskipun tetap ada sesi interaktif dialog maupun dzikir & shalawat bersama-sama. Kali ini santri lebih aktif membaca kitab dan disimak oleh pengajar. Kali ini kitab yang digunakan adalah Ihya` 'Ulumiddin pada subbab bolehnya tidak berobat. Berikut terjemahannya oleh Ustadz Brilly. Santri mendapatkan e-book bilingual kitab Ihya` 'Ulumiddin full harakat dan terjemahan perparagraf.

[Mulai kalam Imam Al-Ghazaliyy]

Penjelasan bahwa meninggalkan pengobatan terkadang terpuji dalam sebagian keadaan, dan hal itu menunjukkan kuatnya tawakkal, serta bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan perbuatan Rasulullah ﷺ. Ketahuilah bahwa orang-orang salaf yang melakukan pengobatan tidak terhitung jumlahnya, namun juga terdapat sekelompok orang besar yang meninggalkan pengobatan, sehingga barangkali disangka bahwa hal itu merupakan suatu kekurangan; sebab jika meninggalkan pengobatan merupakan kesempurnaan, niscaya Rasulullah ﷺ meninggalkannya, karena tidaklah mungkin keadaan orang lain dalam bertawakkal lebih sempurna daripada keadaannya. 

Dan telah diriwayatkan dari Abu Bakr Ash-Shiddiq, bahwa dikatakan kepadanya, “Mengapa kami tidak memanggilkan dokter bagimu?” Maka beliau berkata, “Ath-Thabib (dokter yang hakiki) telah melihat kepadaku dan berfirman, “Sesungguhnya Aku adalah Dzat yang berbuat sesuai apa yang Aku kehendaki.” Dan dikatakan kepada Abu Ad-Darda` dalam sakitnya, “Apa yang engkau keluhkan?” Ia berkata, “Dosa-dosaku.” Mereka berkata, “Lalu apa yang engkau inginkan?” Ia berkata, “Ampunan Tuhanku.” Mereka berkata, “Tidakkah kami panggilkan dokter bagimu?” Ia berkata, “Dokter itulah yang membuat aku sakit.” Dan dikatakan kepada Abu Dzar ketika kedua matanya sakit, “Tidakkah engkau mengobatinya?” Ia berkata, “Aku sedang sibuk dari keduanya.” Maka dikatakan, “Tidakkah engkau memohon kepada Allah agar menyembuhkanmu?” Ia berkata, “Aku memohon kepada-Nya sesuatu yang lebih penting bagiku daripada keduanya.” 

Dan Ar-Rabi‘ bin Khutsaim ditimpa penyakit lumpuh, lalu dikatakan kepadanya, “Tidakkah engkau berobat?” Ia berkata, “Aku sempat berniat, kemudian aku teringat kaum ‘Ad dan Tsamud serta Ash-hab Ar-Rass dan generasi-generasi yang banyak di antara itu; padahal pada mereka ada para thabib, namun binasalah yang mengobati dan yang diobati, dan ruqyah-ruqyah pun tidak memberi manfaat sedikit pun.” Dan Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku menyukai bagi orang yang meyakini tawakkal dan menempuh jalan ini untuk meninggalkan pengobatan, baik berupa minum obat maupun lainnya, sekalipun ia mengidap penyakit, maka ia pun tidak memberitahukan kepada thabib tentangnya jika ditanya.” Dan dikatakan kepada Sahl, “Kapan seorang hamba sah benar tawakkalnya?” Ia berkata, “Apabila masuk kepadanya kerugian pada tubuhnya dan kekurangan pada hartanya, lalu ia tidak menoleh kepadanya karena sibuk dengan keadaannya, dan ia memandang kepada pemeliharaan Allah Ta‘ala atas dirinya.” Maka di antara mereka ada yang meninggalkan pengobatan sama sekali, dan ada pula di antara mereka yang membencinya, dan tidaklah jelas cara mengompromikan antara perbuatan Rasulullah ﷺ dengan perbuatan mereka kecuali dengan membatasi faktor-faktor yang menghalangi dari pengobatan. Maka kami katakan, Sesungguhnya meninggalkan pengobatan itu memiliki sebab-sebab tertentu.

Sebab pertama ialah bahwa orang sakit termasuk golongan yang memiliki penyingkapan batin (mukasyafah), lalu ia tersingkap baginya bahwa ajalnya telah berakhir dan bahwa obat tidak akan bermanfaat baginya, dan hal itu bisa diketahuinya kadang melalui mimpi yang benar, kadang melalui firasat dan dugaan, dan kadang melalui penyingkapan yang pasti, dan tampaknya meninggalkan pengobatan yang dilakukan oleh Ash-Shiddiq – semoga Allah meridhainya – adalah karena sebab ini, sebab beliau termasuk orang yang memiliki kasyf, sebagaimana Abu Bakr berkata kepada ‘Aisyah – semoga Allah meridhainya – dalam perkara warisan, “Sesungguhnya mereka hanyalah dua saudara perempuanmu,” padahal saat itu ia hanya memiliki seorang saudari, tetapi istri Abu Bakar sedang hamil lalu melahirkan anak perempuan, maka diketahui bahwa ia telah mukasyafah baginya bahwa kandungan itu perempuan, sehingga tidak mustahil pula bahwa ia juga tersingkap baginya tentang berakhirnya ajalnya, dan kalau tidak demikian, tidak mungkin disangka bahwa beliau mengingkari pengobatan, padahal beliau telah menyaksikan Rasulullah ﷺ berobat dan memerintahkannya. 

Sebab kedua ialah bahwa orang sakit sibuk dengan keadaannya, dengan rasa takut akan akibat akhir urusannya dan dengan kesadaran akan pengawasan Allah Ta‘ala terhadap dirinya, sehingga hal itu membuatnya lupa akan rasa sakit penyakit dan qalbunya tidak sempat untuk memikirkan berobat karena disibukkan oleh keadaannya, dan hal ini ditunjukkan oleh ucapan Abu Dzarr ketika berkata, “Aku sedang sibuk dari keduanya,” dan ucapan Abu Ad-Darda` ketika berkata, “Sesungguhnya aku hanya mengeluhkan dosaku,” maka rasa sakit hatinya karena takut terhadap dosanya lebih besar daripada rasa sakit badannya karena penyakit, dan keadaan ini seperti orang yang ditimpa musibah dengan kematian orang yang paling dicintainya, atau seperti orang yang ketakutan karena dibawa kepada seorang raja untuk dibunuh, lalu dikatakan kepadanya, “Tidakkah engkau makan padahal engkau lapar?” maka ia berkata, “Aku sedang sibuk dari rasa lapar,” dan hal ini bukanlah penolakan bahwa makan itu bermanfaat untuk menghilangkan lapar, dan bukan pula celaan bagi orang yang makan; dan hal yang mirip dengan ini adalah keadaan Sahl ketika ditanya, “Apakah makanan pokok itu?” ia menjawab, “Itu adalah dzikir kepada Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri,” lalu dikatakan kepadanya, “Kami hanya menanyaimu tentang sesuatu yang dapat menegakkan tubuh,” ia menjawab, “Yang menegakkan tubuh adalah ilmu,” lalu dikatakan kepadanya, “Kami menanyaimu tentang makanan,” ia menjawab, “Makanan adalah dzikir,” lalu dikatakan kepadanya, “Kami menanyaimu tentang nutrisi untuk jasad,” ia menjawab, “Apa urusanmu dengan jasad? Biarkanlah Dzat yang pertama kali mengurusnya yang akan mengurusnya di akhirnya, jika ditimpa penyakit maka kembalikanlah kepada Penciptanya; tidakkah engkau melihat bahwa suatu buatan jika rusak mereka mengembalikannya kepada pembuatnya agar diperbaiki?” 

Sebab ketiga ialah bahwa penyakitnya bersifat menahun, dan obat yang diperintahkan dalam kaitan dengan penyakitnya itu diragukan manfaatnya, kedudukannya seperti kayy (terapi dengan besi panas) dan ruqyah, maka orang yang bertawakkal meninggalkannya, dan kepada hal ini menunjuk ucapan Ar-Rabi‘ bin Khutsaim ketika berkata, “Aku teringat kaum ‘Ad dan Tsamud, dan pada mereka terdapat para tabib, lalu binasalah orang yang mengobati dan yang diobati,” yakni bahwa obat itu tidak dapat dipercaya manfaatnya; hal ini kadang memang demikian adanya pada hakikatnya, dan kadang hanya demikian menurut pandangan si sakit karena kurangnya pengalaman dalam ilmu kedokteran dan praktiknya, sehingga tidak kuat sangkanya bahwa obat itu bermanfaat, dan tidak diragukan bahwa seorang thabib yang berpengalaman lebih meyakini khasiat obat daripada orang lain, maka kepercayaan dan dugaan tergantung pada keyakinan, dan keyakinan tergantung pada pengalaman; kebanyakan orang yang meninggalkan pengobatan dari kalangan ahli ibadah dan para zahid, inilah sandaran mereka, karena bagi mereka obat hanyalah sesuatu yang semu tanpa hakikat, dan hal ini benar pada sebagian obat menurut pandangan orang yang memahami ilmu kedokteran, tetapi tidak benar pada sebagian yang lain, namun orang yang bukan thabib terkadang memandang semua obat dengan satu pandangan, sehingga melihat berobat sebagai bentuk berlebih-lebihan dalam bersandar kepada sebab-sebab seperti kayy dan ruqyah, lalu mereka meninggalkannya.

Sebab keempat ialah bahwa seorang hamba bermaksud dengan meninggalkan pengobatan untuk membiarkan penyakit tetap ada agar memperoleh pahala dari penyakit itu dengan baiknya kesabaran atas ujian Allah Ta‘ala, atau untuk menguji dirinya dalam kemampuan bersabar; sungguh telah datang riwayat tentang pahala penyakit yang banyak disebut, maka Nabi ﷺ bersabda, “Kami, golongan para nabi, adalah manusia yang paling berat cobaannya, kemudian yang berikutnya yang paling utama lalu yang berikutnya; seorang hamba diuji sesuai kadar imannya, maka jika imannya kuat akan diperberat ujiannya, dan jika imannya lemah diringankan darinya ujiannya; sesungguhnya Allah Ta‘ala menguji hamba-Nya dengan cobaan sebagaimana salah seorang dari kalian menguji emasnya dengan api, maka di antara mereka ada yang keluar seperti emas murni yang tidak ternoda, ada pula yang di bawah itu, dan ada pula yang keluar dalam keadaan hitam terbakar.” 

Dan dalam sebuah hadits melalui jalur Ahlul Bait, “Sesungguhnya Allah Ta‘ala apabila mencintai seorang hamba, Dia mengujinya, maka jika ia bersabar Allah memilihnya, dan jika ia ridha Allah mengistimewakannya.” Nabi ﷺ juga bersabda, “Apakah kalian suka menjadi seperti keledai-keledai liar, tidak sakit dan tidak pernah ditimpa penyakit?” Ibnu Mas‘ud – semoga Allah meridhainya – berkata, “Engkau akan dapati orang mukmin adalah yang paling sehat qalbunya namun paling sakit badannya, dan engkau akan dapati orang munafik adalah yang paling sehat badannya namun paling sakit qalbunya.” 

Maka tatkala banyak pujian terhadap penyakit dan cobaan, sebagian orang mencintai penyakit dan memanfaatkannya untuk memperoleh pahala dari kesabaran atasnya, sehingga ada di antara mereka orang yang memiliki penyakit lalu menyembunyikannya dan tidak menceritakannya kepada tabib, ia menanggung derita penyakit dan ridha dengan ketentuan Allah Ta‘ala, dan ia mengetahui bahwa Al-Haqq lebih kuat dalam qalbunya daripada sekadar penyakit yang menyibukkannya darinya, sedangkan yang dicegah oleh penyakit hanyalah anggota badannya; dan mereka pun mengetahui bahwa shalat mereka dalam keadaan duduk, misalnya, dengan sabar atas ketetapan Allah Ta‘ala lebih utama daripada shalat dalam keadaan berdiri dengan sehat walafiat, dan dalam sebuah khabar, “Sesungguhnya Allah Ta‘ala berfirman kepada para malaikat-Nya: Catatlah untuk hamba-Ku yang shalih apa yang biasa ia lakukan, karena kini ia berada dalam ikatan-Ku; jika Aku melepaskannya, niscaya Aku menggantinya dengan daging yang lebih baik daripada dagingnya dan darah yang lebih baik daripada darahnya, dan jika Aku mewafatkannya, niscaya Aku wafatkan ia menuju rahmat-Ku.” Dan Nabi ﷺ bersabda, “Amal yang paling utama adalah yang jiwa terasa berat melakukannya.” Maka dikatakan, maksudnya ialah penyakit-penyakit dan musibah-musibah, dan inilah yang ditunjukkan oleh firman-Nya Ta‘ala, “Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu”; dan Sahl At-Tustariyy berkata, “Meninggalkan pengobatan sekalipun sampai melemahkan dari ketaatan dan mengurangi pelaksanaan kewajiban adalah lebih utama daripada berobat demi melakukan ketaatan,” dan ia sendiri memiliki penyakit yang besar, tetapi ia tidak mengobatinya, dan ia mengobati orang lain darinya; dan apabila ia melihat seorang hamba shalat sambil duduk dan tidak mampu melakukan amal kebaikan karena penyakit lalu ia berobat untuk bisa berdiri dalam shalat dan bangkit melakukan ketaatan, ia merasa heran akan hal itu dan berkata, “Shalatnya dalam keadaan duduk dengan ridha terhadap keadaannya lebih utama daripada berobat demi memperoleh kekuatan dan shalat dalam keadaan berdiri.” Dan ia (Sahl At-Tustariyy) pernah ditanya tentang meminum obat, maka ia berkata, “Setiap orang yang memasuki urusan pengobatan, sesungguhnya itu hanyalah kelonggaran dari Allah Ta‘ala bagi orang-orang lemah, dan barangsiapa tidak memasukinya maka itu lebih utama; sebab jika ia mengambil sesuatu dari obat, sekalipun itu hanya air dingin, maka ia akan ditanya, mengapa engkau mengambilnya? sedangkan orang yang tidak mengambilnya tidak ada pertanyaan atasnya.” 

Dan madzhab Sahl ini beserta madzhab ulama-ulama Bashrah ialah melemahkan diri dengan lapar dan menundukkan syahwat, karena mereka mengetahui bahwa setetes amal qalbu seperti sabar, ridha, dan tawakkal lebih utama daripada sebesar gunung amal anggota badan, dan penyakit tidak menghalangi amal qalbu kecuali apabila rasa sakitnya sangat dominan hingga melumpuhkan. Dan Sahl – semoga Allah merahmatinya – berkata, “Penyakit-penyakit badan adalah rahmat Allah, sedangkan penyakit-penyakit qalbu adalah hukuman.”

Sebab kelima ialah bahwa seorang hamba memiliki dosa-dosa yang telah terdahulu, ia merasa takut terhadapnya dan tidak mampu menebusnya, maka ia memandang penyakit yang berkepanjangan sebagai penebus dosa sehingga ia meninggalkan pengobatan karena khawatir penyakit itu segera hilang; sungguh Nabi ﷺ bersabda, “Demam dan rasa sakit terus-menerus menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di atas bumi bagaikan pakaian yang bersih, tidak lagi memiliki dosa dan kesalahan.” Dan dalam sebuah khabar, “Demam sehari menjadi penebus dosa setahun.” Maka dikatakan, karena demam itu melemahkan kekuatan setahun, dan dikatakan pula: sesungguhnya manusia memiliki tiga ratus enam puluh persendian, maka demam memasuki seluruhnya dan ia merasakan sakit dari masing-masing sendi, sehingga setiap rasa sakit menjadi penebus bagi satu hari; dan tatkala Nabi ﷺ menyebutkan penebusan dosa dengan demam, Zaid bin Tsabit berdoa kepada Tuhannya Yang Mahaperkasa lagi Mahatinggi agar senantiasa ditimpa demam, maka demam itu tidak meninggalkannya hingga ia wafat – semoga Allah merahmatinya; dan sekelompok dari kaum Anshar pun memohon demikian, maka demam tidak meninggalkan mereka; dan tatkala Nabi ﷺ bersabda, “Barang siapa yang Allah hilangkan kedua yang mulianya (penglihatan), maka Allah tidak meridhai baginya balasan selain Surga,” sungguh ada dari kalangan Anshar yang berharap buta; dan Isa berkata, “Tidaklah menjadi seorang alim orang yang tidak bergembira dengan datangnya musibah dan penyakit pada jasad dan hartanya karena mengharapkan penghapusan kesalahan-kesalahannya.” Dan diriwayatkan bahwa Musa melihat seorang hamba dengan ujian yang berat, lalu ia berkata, “Ya Rabb, kasihanilah dia.” Maka Allah Ta‘ala berfirman, “Bagaimana Aku mengasihinya dengan sesuatu yang dengannya Aku mengasihinya?” yakni, dengannya Aku menebus dosa-dosanya dan menambahkan derajatnya.

Sebab keenam ialah bahwa seorang hamba merasakan dalam dirinya permulaan sikap berlebihan, lalai, dan melampaui batas karena lamanya sehat, maka ia meninggalkan pengobatan karena takut penyakit itu segera hilang lalu kembali kepadanya kelalaian, kesombongan, dan kedurhakaan, atau panjang angan-angan dan suka menunda-nunda dalam mengganti apa yang luput serta menunda-nunda kebaikan; karena sesungguhnya sehat adalah kekuatan sifat-sifat, dan dengannya nafsu bergerak, syahwat bangkit, serta menyeru kepada maksiat, dan sekecil-kecilnya ialah mengajak kepada kenikmatan dalam perkara yang mubah, padahal itu menyia-nyiakan waktu dan mengabaikan keuntungan besar dalam menyelisihi hawa nafsu serta melazimi ketaatan; dan apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, Dia tidak membiarkannya tanpa peringatan melalui penyakit dan musibah; dan karena itu dikatakan, “Seorang mukmin tidak terlepas dari sakit, atau kekurangan, atau tergelincir.” 

Dan diriwayatkan bahwa Allah Ta‘ala berfirman, “Kemiskinan adalah penjara-Ku, dan penyakit adalah belenggu-Ku, Aku menahan dengannya siapa saja dari makhluk-Ku yang Aku cintai.” Maka jika dalam penyakit terdapat pengekangan dari kesombongan dan perbuatan maksiat, maka kebaikan apakah yang melebihinya, dan tidaklah pantas seseorang sibuk mengobatinya jika ia takut hal itu menimpa dirinya? Maka hakikat kesehatan ialah dalam meninggalkan maksiat; sungguh seorang arif berkata kepada seseorang, “Bagaimana keadaanmu setelah aku tinggalkan?” Ia menjawab, “Dalam keadaan sehat.” Maka ia berkata, “Jika engkau tidak bermaksiat kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahatinggi, maka engkau berada dalam kesehatan, tetapi jika engkau bermaksiat kepada-Nya, maka penyakit apakah yang lebih parah daripada maksiat? Tidaklah sehat orang yang bermaksiat kepada Allah.” Dan ‘Aliyy – semoga Allah memuliakan wajahnya – ketika melihat perhiasan orang-orang Nabath di Iraq pada hari raya berkata, “Apa ini yang mereka tampakkan?” Mereka menjawab, “Wahai Amirul Mu`minin, ini adalah hari raya bagi mereka.” Maka ia berkata, “Setiap hari yang tidak dilakukan maksiat kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahatinggi maka itu adalah hari raya bagi kita.” 

Dan firman-Nya Ta‘ala, “Setelah Dia memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian sukai” dikatakan maksudnya adalah kesehatan; sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas ketika melihat dirinya merasa cukup, demikian pula ketika merasa cukup dengan kesehatan; dan sebagian mereka berkata, “Sesungguhnya Fir‘aun berkata. ‘Akulah tuhanmu yang paling tinggi’ karena panjangnya masa sehat; karena ia hidup empat ratus tahun tanpa pernah sakit kepala, tanpa pernah demam, dan tanpa pernah uratnya berdenyut, maka ia mengaku ketuhanan – semoga Allah melaknatnya – dan seandainya ia ditimpa sakit kepala sebelah sehari saja, niscaya itu akan menyibukkannya dari perkara-perkara sia-sia apalagi dari pengakuan ketuhanan.”

Rasulullah ﷺ bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (yaitu kematian).” Dikatakan pula, demam adalah pendahulu kematian, maka ia menjadi pengingat baginya sekaligus pendorong untuk tidak menunda amal. Allah Ta‘ala berfirman, “Apakah mereka tidak melihat bahwa mereka diuji sekali atau dua kali dalam setiap tahun, kemudian mereka tidak juga bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?” Dikatakan bahwa maksudnya adalah mereka diuji dengan penyakit-penyakit sebagai bentuk cobaan. 

Dikatakan pula, apabila seorang hamba sakit dua kali lalu tidak bertaubat, maka malaikat maut berkata kepadanya, “Wahai orang yang lalai, telah datang kepadamu utusan demi utusan dariku, namun engkau tidak menjawab.” Karena itulah, para salaf merasa resah jika satu tahun berlalu tanpa mereka ditimpa kekurangan pada jiwa ataupun harta, dan mereka berkata, “Tidaklah seorang mukmin lepas dalam setiap empat puluh hari melainkan pasti ia diguncang oleh suatu ketakutan atau ditimpa suatu musibah.” Diriwayatkan bahwa ‘Ammār bin Yāsir menikahi seorang wanita, namun wanita itu tidak pernah sakit, maka ia menceraikannya. 

Demikian pula, ketika Nabi ﷺ ditawarkan seorang wanita, beliau sempat berniat menikahinya, namun ketika dikatakan kepadanya bahwa wanita itu tidak pernah sakit sama sekali, beliau bersabda, “Aku tidak membutuhkan dia.” Rasulullah ﷺ juga menyebutkan penyakit-penyakit dan rasa sakit seperti sakit kepala dan lainnya, lalu seorang lelaki berkata, “Apa itu sakit kepala? Aku tidak mengenalnya.” Maka beliau bersabda, “Menjauhlah dariku! Barangsiapa yang ingin melihat seorang penghuni Neraka, hendaklah ia melihat orang ini dan orang ini,” sebab telah datang dalam sebuah khabar, “Demam adalah bagian setiap mu`min dari Neraka.” 

Dalam hadits Anas dan ‘Aisyah disebutkan, ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ, “Wahai Rasulullah, apakah selain para syuhada ada orang lain yang akan dikumpulkan bersama mereka pada hari Kiamat?” Beliau bersabda, “Ya, yaitu orang yang mengingat kematian setiap hari sebanyak dua puluh kali.” Dalam riwayat lain, “Orang yang mengingat dosa-dosanya hingga membuatnya bersedih.” Tidak diragukan lagi bahwa mengingat kematian pada orang yang sakit lebih dominan, sehingga ketika manfaat-manfaat sakit begitu banyak, sekelompok orang memandang bahwa meninggalkan upaya untuk menghilangkannya lebih utama, karena mereka melihat dalam sakit itu tambahan kebaikan bagi diri mereka, bukan karena mereka memandang berobat itu sebagai kekurangan; bagaimana mungkin berobat dianggap kekurangan, padahal Rasulullah ﷺ sendiri melakukannya.

[Selesai kalam Imam Al-Ghazaliyy]






Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.