Di Balik Layar Kekeramatan Kitab Asy-Syifa Bi Ta'rif Huquq Al-Mushthafa Karya Al-Qadhi 'Iyadh
Pada umumnya, masyarakat muslim tahunya hanya Sirah Nabawiyyah sebagai sebuah disiplin ilmu dan referensi induknya harus berjudul Sirah Nabawiyyah. Padahal mulanya, Sirah Nabawiyyah merupakan bagian dari ilmu hadits yang lebih luas. Kemudian, materi ini mulai dikumpulkan dan dirangkai membentuk susunan kronik kisah kehidupan Rasulullah dari lahir sampai wafat. Ulama yang pertama kali menerbitkan kitab Sirah Nabawiyyah adalah adalah Al-Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhriyy (w. 124 H), guru dari Al-Imam Malik (w. 169 H) dan Al-Imam Ibnu Is-haq (w. 151 H). Inilah yang menginspirasi Al-Imam Ibnu Is-haq, Al-Imam Ibnu Hisyam dan Al-Imam Al-Waqidiyy menerbitkan buku Sirah Nabawiyyah. Barulah pada abad-abad berikutnya literatur Sirah Nabawiyyah bertebaran dengan titik berat yang berbeda-beda: syamail, dalail, khashaish, fadhail, mawalid, madaih. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab pernah mengurai, disebut maulid (mufrad dari mawalid) bukan berarti hanya mengisahkan peristiwa kelahiran Nabi, tapi disebutnya kelahiran sebagai perwakilan dari seluruh peristiwa hidup, karena kelahiran adalah titik terpenting. Adapun Kitab Asy-Syifa Bi Ta’rif Huquq Al-Mushthafa yang terbit pada abad keenam hijriyyah ini tergolong ke dalam Kitab Sirah Nabawiyyah yang fokus pada syamail. Syaikh Dr. Mushthafa As-Siba’iyy dalam As-Sirah An-Nabawiyyah Durus wa ‘Ibar memasukkan Kitab Asy-Syifa dalam daftar kitab Sirah Nabawiyyah primer sepopuler Asy-Syama’il Al-Muhammadiyyah karya Imam At-Tirmidziyy, Zad Al-Ma’ad karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Syaikh Muhammad Al-Khudhari Beik menyusun kitab Nurul-Yaqin fi Sirah Sayyidil-Mursalin juga banyak mengutip dan merujuk Kitab Asy-Syifa Bi Ta’rif Huquq Al-Mushthafa.
Karya-karya literasi yang merekam kehidupan Rasulullah bejibun menjejali ingatan pustaka. Sejak 12 abad silam, banyak pemerhati sejarah yang menjatuhkan keputusan untuk merangkai peristiwa-peristiwa hidup Nabi. Diantara referensi induk biografi Al-Mushthafa adalah Kitab Asy-Syifa bi Ta'rif Huquq Al-Mushthafa. Kitab Asy-Syifa merupakan bahan bacaan klasik terlengkap-teringkas yang menjadi international mega best seller book selama 9 abad. Di tengah arus deras disrupsi media sosial, umat masih sangat berhajat terhadap Kitab Asy-Syifa ini. Sekalipun sudah melahap banyak buku modern tentang Nabi, tidak ada jaminan informasi yang didapat lebih lengkap dari Kitab Asy-Syifa. Kitab ini punya kekeramatan. Tidak sedikit ulama yang meyakini ada anugerah magis pada Kitab Asy-Syifa. Ini bukan kesyirikan. Ini hanya eksperien (pengalaman) empiris dengan tetap mendasarinya dengan tauhid bahwa Allah-lah yang berbuat.
Diungkap oleh Syaikh ‘Aliyy Shalih Ja’fariyy Al-Azhariyy pada 26 Nopember 2018, “Barangsiapa yang telah membaca kitab Asy-Syifa do’anya akan mustajab.” Oleh karena itu hampir semua ulama Ahlus-Sunnah pasti pernah mengkhatamkan Kitab Asy-Syifa dan menjadikannya sebagai rujukan utama. Hadhratusy-Syaikh K. H. Hasyim Asy’ari pernah menukil ‘ibarot istimewa dari Kitab Asy-Syifa,
قَالَ فِي كِتَابِهِ الْمُسَمَّى بِالشِّفَا فِي حُقُوقِ الْمُصْطَفَى : اِعْلَمْ أَنَّ حُرْمَةَ النَّبِي بَعْدَ مَوْتِهِ وَتَوْقِيْرِهِ وَتَعْظِيمِهِ لَأَزِمٌ كَمَا كَانَ حَالَ حَيَاتِهِ، وَذَلِكَ عِنْدَ ذِكْرِ حَدِيْثِهِ وَسُنَّتِهِ وَسِمَاعِ اسْمِهِ
"Telah berkata (Syaikh Qadhi Iyadh) dalam kitab Asy-Syifa fi Huquq Al-Mushthafa, Ketahuilah bahwa kemuliaan Nabi setelah wafatnya, memuliakan dan mengagungkannya tetap sebagaimana ketika Nabi masih hidup. Hal itu (memuliakan Nabi setelah wafat) adalah ketika disebut kisah dan sunnahnya, serta ketika mendengar namanya." [At-Tanbihat Al-Wajibat li Man Yashna’u Al-Maulid bi Al-Munkarat, [Tebuireng, Maktabah At-Turats Al-Islamiyy: tt], hlm. 26-27]
Al-Qadhi ‘Iyadh menggubah sya’ir, “Orang-orang berkata, “Aku lihat engkau mencintai kitab Asy-Syifa, engkau kabarkan di dalamnya tentang Al-Mushthafa.” Lalu dijawab oleh Qadhi Iyadh, “Karena aku sedang sakit batin, sementara setiap orang sakit pasti mencintai Asy-Syifa (obat).” Al-Qadhi Iyadh menyembuhkan sakit dengan memperkenalkan secara mendalam sosok baginda Nabi ﷺ, tentu agar kita bisa meneladani. Tak pelak, aksiomatika ini dipegang teguh para ulama. Terbukti, salah satunya, pada tahun 790 H terjadi wabah tha`un di Mesir. Al-Qadhi Nashiruddin Muhammad mengajak sekelompok dari umat Islam untuk membaca Shahih Al-Bukhariyy di Masjid Al-Azhar untuk berdoa agar Allah mengangkat tha`un. Pada tahun 881 H kembali terjadi wabah tha`un di Kairo. Atas perintah Sulthan kala itu, pembacaan Shahih Al-Bukhariyy, Shahih Muslim dan Kitab Asy-Syifa digelar di Masjid Al-Azhar, dihadiri oleh para ulama dan para penuntut ilmu. Setelah itu mereka berdoa agar Allah mencegah bala` atas mereka, yakni tha`un tersebut. [Nail Al-Amal fi Dzail Ad-Duwal, 2/258 & 7/174]
Sedemikian hebat Kitab Asy-Syifa sampai-sampai salah satu guru beliau sendiri yang pertama kali jadi mengambil sanad, yakni Imam Abu Thahir As-Silafiyy. Al-Qadhi ‘Iyadh wafat lebih dulu daripada Imam Abu Thahir As-Silafiyy. Sehingga sanad Imam Abu Thahir kepada Kitab Asy-Syifa adalah sanad tertinggi. Sehebat apapun Kitab Asy-Syifa, penulisnya sendiri mengalami musibah kematian karena diracun dan ditombak oleh affiliator Ibnu Tumart yang mendeklair sebagai Imam Al-Mahdiyy. Sebelum wafat, ada saja musibah yang dialami Al-Qadhi ‘Iyadh, seperti dalam Ash-Shabr ala Zaujat wa Al-Hilm Alaihinna karya Yusuf Abjik As-Susiyy,
زار القاضي عياض بعض الفقهاء من أصحابه، فوجده قد انتهى من تأليف كتاب، فنظر فيه القاضي عياض، فأعجبه، وطلب منه أن يعيره إياه كي يقرأه، فذكر له صاحبه الفقيه بأن تلك . نسخته الوحيدة، وأنه إن فقدت ضاع الكتاب، فوعده القاضي عياض بالحفاظ عليه وأنه سيعيده إليه هي يوم الغد. فأخذه القاضي عياض معه للبيت، وسهر عليه تلك الليلة كلها يطالعه، قال: وكانت له زوجة أخذت تُراوده وهو لا يلتفت إليها لاشتغاله بالقراءة، فلما أذن الفجر، خرج للمسجد للصلاة ولإقراء العلم، وحينما عاد لبيته وقت الظهيرة، اشتم عند دخوله إليه رائحة لم يكن يعهدها، فسأل زوجته: ما أعددت لنا من طعام على الغذاء ؟ فأجابته: ما سوف تراه! فلما وضعت الطبق على المائدة، وجد فيه كتاب صاحبه الذي أعاره إياه محترقاً! أحرقته زوجته من شدة غيظها وغضبها منه حيث لم يلتفت إليها ليلة البارحة، فوقع في يده، واغتم مما جرى، فقام وأخذ قلما وأوراقاً، وصار يكتب ما علق بباله من مطالعته للكتاب، ثم ذهب به لصاحبه الفقيه، وقال له: أنظر هل ينقص منه شيء ؟ فتصفحه صاحبه وقال له: لا، لا ينقص منه شيء ! .
“Suatu hari, Al-Qadhi Iyadh mengunjungi salah satu koleganya yang pakar dalam disiplin fikih. Beliau mendapati temannya baru saja menyelesaikan sebuah karya yang dalam pandangannya cukup monumental, Al-Qadhi Iyadh takjub akan anggitannya. Hingga minjamlah ia, dan penulisnya pun memperbolehkan seraya memperingati bahwa kitab ini belum digandakan. Kitab tersebut masih satu eksemplar, sebab baru saja selesai dianggit dan belum diperbanyak. Jika naskah itu hilang, maka lenyaplah karya monumental tersebut. Koleganya meminta Al-Qadhi Iyadh untuk sungguh-sungguh menjaga dan dikembalikan satu hari kemudian. Lalu Al-Qadhi Iyadh pamit pulang, sebab ia tak sabar untuk membaca karya temannya. Apalagi ia hanya diberi limit waktu yang singkat sekali, saking asiknya mutolaah kitab temannya, Al-Qadhi Iyadh bertekad menghabiskan malamnya untuk mengkhatamkan karya baru temannya. Di tengah-tengah muthalaah, istrinya yang cantik mengajaknya senggama. Al-Qadhi Iyadh tidak bergeming tetap fokus dengan kitab. Hingga tiba waktu Shubuh, Al-Qadhi Iyadh rehat sejenak dengan berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat. Kemudian beliau mengajar, setelah itu baru beliau pulang. Ketika sampai rumah, beliau disambut dengan bau dapur. Bertanyalah beliau kepada istrinya, sedang masak apa sekarang. Istrinya pun menjawab “engkau akan mengetahuinya sendiri habis ini”. Ketika istri menyiapkan hidangan di meja makan, Al-Qadhi Iyadh kaget bukan kepalang. Sebab ia melihat naskah temannya yang belum digandakan tadi terbakar. Ternyata istri beliau membakar kitab tersebut dikarenakan sikapnya tadi malam, yakni mengacuhkan ajakan istrinya. Al-Qadhi Iyadh terpukul sekali, beliau gundah gulana atas kejadian yang menimpanya. Berselang kemudian, Beliau bergegas mengambil kertas dan pena, untuk menuliskan karya temannya yang terbakar. Al-Qadhi Iyadh menyalinnya dengan bekal bacaan tadi malam, sehafalnya redaksi beliau tuliskan dalam buku. Setelah selesai dari awal sampai akhir, beliau mengembalikan salinan tersebut kepada temannya seraya bertanya, “Lihatlah kitabmu, apakah ada yang kurang atau tidak?”. Temannya menjawab ” Tidak”.
Post a Comment