Header Ads

Demi Syi'ar Asmaul Husna, Allah Taqdirkan Nabi Adam Berbuat Salah Tapi Tidak Terhitung Dosa | Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah | 082140888638



Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengemukakan hikmah bersalahnya Nabi Adam dan istri beliau memakan buah pohon khuldiyy sebagai taqdir-Nya dan tidak terhitung dosa ialah demi syi'ar Asmaul Husna, "Ketika diserahkan kepada Adam asal penghambaan, dosa tidak merusaknya, (firman Allah dalam hadits Qudsiyy) "Wahai anak Adam, seandainya engkau menemui-Ku dengan dosa sebesar bumi, kemudian engkau menemui-Ku tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu, niscaya Aku temui engkau dengan ampunan sebesar itu." Ketika Tuan (yakni Allah) mengetahui bahwa dosa hambanya bukan karena maksud menentang-Nya dan bukan meragukan hikmah-Nya, Dia mengajarkan bagaimana memohon maaf kepada-Nya, "Lalu Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya" [QS. Al-Baqarah: 37] Hamba (yakni Nabi Adam) tidak bermaksud dengan kemaksiatannya menentang tuannya dan tidak pula berani melanggar larangan-Nya, tetapi karena kekuatan tabiat, hiasan nafsu dan setan, kekuasaan hawa nafsu, keyakinan akan pengampunan, dan harapan akan ampunan. Ini dari sisi hamba. Adapun dari sisi ketuhanan, maka berjalannya hukum, menampakkan kemuliaan ketuhanan dan kehinaan penghambaan, kesempurnaan kebutuhan, dan tampaknya pengaruh Asma-asma Husna seperti Al-'Afuww, Al-Ghafur, At-Tawwab, Al-Halim bagi yang datang bertaubat dengan penyesalan, dan Al-Muntaqim, Al-'Adl, Dzul-Bathsyisy-Syadid bagi yang bersikeras dan terus dalam kejahatan. 

Paparan Ibnul-Qayyim dalam kitab Al-Fawa`id ini antimainstream. Sebagian pendakwa pengikut beliau tidak mau menerima bahwa Dzul-Bathsyisy-Syadid merupakan Asmaul Husna. Dalam narasi ini, jelas sekali Ibnul-Qayyim menggolongkan Dzul-Bathsyisy-Syadid sebagai Asmaul Husna. Di dalam Al-Qur`an banyak disebutkan Asmaul Husna serupa seperti Dzul-'Arsyil-Majid, Dzul-Quwwatil-Matin, Dzul-Jalali wal-Ikram, Dzu 'Iqabin Alim, dan lainnya.

Murid utama Syaikh Ibnu Taimiyyah ini juga menjelaskan betapa taqdir dosa adalah taqdir yang baik, "Maka Dia Subhanahu ingin melihat hamba-Nya (yakni Nabi Adam) menyendirikan-Nya dengan kesempurnaan, kekurangan hamba dan kebutuhannya kepada-Nya, menyaksikan kesempurnaan kekuasaan dan kemuliaan-Nya, kesempurnaan ampunan dan pengampunan serta rahmat-Nya, kesempurnaan kebaikan dan penutupan serta kelembutan dan pemaafan dan penghapusan-Nya, dan bahwa rahmat-Nya kepadanya adalah kebaikan kepadanya bukan perlawanan, bahwa jika Dia tidak melingkupinya dengan rahmat dan karunia-Nya maka dia pasti binasa. Maka Allah, betapa banyak hikmah dalam taqdir dosa, dan betapa banyak maslahat dan rahmat di dalamnya dengan merealisasikan taubat bagi hamba. Taubat dari dosa seperti minum obat bagi orang sakit. Betapa banyak penyakit yang menjadi sebab kesehatan." 

Siapa yang tidak tabik dengan taqdir dan Asmaul Husna berarti dia tidak makrifat kepada Allah. Makrifatullah yang merupakan pondasi kehidupan bermula dari tafakkur terhadap Asmaul Husna. Guru favorit Ibnu Rajab ini menguraikan, "Ma'rifatullah ada dua macam: ma'rifah pengakuan, yaitu yang sama-sama dimiliki oleh manusia, baik yang berbakti maupun yang durhaka, yang taat maupun yang bermaksiat. Yang kedua adalah ma'rifah yang menimbulkan rasa malu kepada-Nya, cinta kepada-Nya, keterikatan qalbu kepada-Nya, kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, takut kepada-Nya, taubat kepada-Nya, keakraban dengan-Nya, dan lari dari makhluk kepada-Nya. Inilah ma'rifah yang murni yang berlaku pada lisan kaum shufiyy (sufi), dan variasi mereka di dalamnya tidak dapat dihitung (karena sedemikian banyak-pnrj.) kecuali oleh Yang memperkenalkan mereka kepada diri-Nya sendiri dan mengungkap kepada qalbu mereka dari ma'rifah-Nya apa yang Ia sembunyikan dari selain mereka. Setiap orang menunjukkan ma'rifah ini sesuai dengan maqamnya dan apa yang diungkap kepadanya darinya." 

Selanjutnya, ma'rifatullah tidak bisa dilakukan hamba dengan berkenalan secara dialogis, bertatap muka dengan Allah, berduaan secara fisik dan semacamnya. Ma'rifatullah hanya bisa kita lakukan dengan mentafakkuri ayat-ayat Syar'iyyah dan ayat-ayat kauniyyah. Ibnul-Qayyim melanjutkan eksplanasinya masih dalam Kitab Al-Fawaid, "Ma'rifah ini memiliki dua pintu yang luas: pintu pertama adalah tafakkur dan ta'ammul dalam ayat-ayat al-Quran seluruhnya dan pemahaman khusus dari Allah dan Rasul-Nya. Pintu kedua adalah tafakkur dalam ayat-ayat-Nya yang disaksikan dan merenungkan hikmah-Nya di dalamnya, kekuasaan-Nya, kelembutan-Nya, kebaikan-Nya, keadilan-Nya, dan tegaknya Ia dengan keadilan atas makhluk-Nya. Keseluruhan itu adalah fiqh dalam makna Asma-Nya yang Husna, keagungan dan kesempurnaannya, keunikan-Nya dengan itu, dan keterkaitan dengan makhluq dan perintah. Maka ia akan menjadi faqih dalam perintah dan larangan-Nya, faqih dalam qada dan qadar-Nya, faqih dalam Asma dan sifat-Nya, faqih dalam hukum agama syar'iyy dan hukum alam qadariyy."

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.