Hukum Asmaul Husna Dibaca di Dalam Shalat Sebakda Dzikir/Doa yang Paten, Seperti Ini Rekomendasi Ustadz H. Brilly El-Rasheed, S.Pd., M.Pd., C.Ed. (UBER)
Shalat, telah ditetapkan oleh Rasulullah segala bacaan yang mesti dilafazhkan pelakunya. Mulai dari takbiratul-ihram hingga dua salam, Rasulullah sudah mematenkan apa saja yang harus diucapkan oleh orang yang shalat. Selama ini, sejak Rasulullah mengajarkannya, atau diinisiasi/dikreasi oleh sebagian shahabat Nabi lalu disetujui Rasulullah sebagai syari’at, ujaran-ujaran dalam shalat sudah ‘diketok palu’. Pertanyaan yang perlu dipecahkan, apakah Islam melarang mutlak, seandainya seseorang shalat, sudah tunai masing-masing bacaan untuk masing-masing rukun, lalu ditambah dzikir lain, atau doa, baik dalam posisi sebagai ma`mum atau munfarid (shalat sendiri), sebagai misal sepaket 99 Asmaul Husna atau satu-dua saja.
Syaikh Prof. Dr. Khalid As-Sabt menguraikan, Jika seseorang menambahkan dzikir lain dari dirinya sendiri yang tidak mengandung sesuatu yang terlarang, tidak mengandung kekurangan, dan tidak mengandung ucapan yang tidak pantas bagi Allah, maka bagaimana hukumnya? Mayoritas ulama mengatakan, "Tidak mengapa dengan hal itu," meskipun mereka juga mengatakan bahwa dzikir yang berasal dari Nabi lebih utama. Inilah pendapat yang dianut oleh mazhab Hanafiyy, Malikiyy, dan Syafi'iyy dalam qaul jadid, serta merupakan pendapat Hanbaliyy. Ibnu Taimiyah memilih bahwa diperbolehkan mengucapkan dzikir yang tidak berasal dari riwayat (Nabi) secara spesifik. Jika kita ingin mendekatkan pemahaman ini dengan gambaran yang lebih jelas beserta dalil-dalil mereka, misalnya dalam bacaan talbiyah: Lafazh yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ adalah, "Labbaikallahumma labbaik, labbaika laa syariika laka labbaik, innal hamda wan ni‘mata laka wal mulk, laa syariika lak" Inilah yang diriwayatkan. Namun, ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab menambahkan dalam talbiyahnya, "Labbaika wa sa'daika wal-khairu baina yadaika, labbaika, war-raghbaa`u ilaika wal-’amalu." Tambahan ini tidak berasal dari Nabi ﷺ. Demikian pula, para sahabat meriwayatkan berbagai lafazh talbiyah yang berbeda dengan riwayat dari Nabi ﷺ. Apakah kita bisa mengatakan bahwa hal itu tidak diperbolehkan dan termasuk bid'ah? Nabi ﷺ tidak mengingkari mereka, dan para sahabat tidak saling mengingkari satu sama lain. Maka, mereka memahami bahwa hal ini termasuk dalam perkara yang memiliki keluasan, karena talbiyah itu sendiri tidaklah wajib. Allah – Maha Suci dan Maha Tinggi – memerintahkan kita untuk berlindung ketika membaca (Al-Qur'an), "Maka berlindunglah kepada Allah dari setan yang terkutuk." [QS. An-Nahl: 98] Adapun lafazh perlindungan yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ adalah, "A‘uudzu billaahi minasy-syaithaanir-rajiim." Atau "A‘uudzu billaahis-samii‘il-‘aliim minasy-syaithaanir-rajiim, min hamzihi, wa nafkhihi, wa nafthihi." Namun, jika kita melihat perkataan para ulama dan riwayat dari generasi terdahulu mengenai bentuk-bentuk perlindungan ini, kita akan mendapati bahwa banyak dari mereka memahami bahwa perintah untuk berlindung bisa terlaksana dengan berbagai lafazh yang berbeda. Oleh karena itu, kita menemukan berbagai ungkapan yang berbeda dari lafazh yang diriwayatkan. Seolah-olah mereka melihat bahwa hal ini termasuk dalam perkara yang luas, meskipun tetap disepakati bahwa lafazh yang diriwayatkan lebih utama dan lebih sempurna. Hal yang sama juga berlaku dalam beberapa hal lain yang bisa diucapkan seseorang. Allah berfirman, "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuknya dan ucapkanlah salam dengan sebenar-benarnya." [QS. Al-Ahzab: 56] Allah memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Nabi ﷺ. Jika seseorang mengucapkan, "Allahumma shalli wa sallim wa an‘im wa baarik ‘ala sayyidinaa wa nabiyyinaa wa qa-idinaa wa qudwatinaa Muhammad ﷺ." Lafazh ini tidak berasal dari riwayat (Nabi). Apakah ini haram? Jika seseorang mengucapkannya dalam shalat setelah tasyahhud (sebagai ganti shalawat yang sudah paten), maka kita katakan, "Tidak boleh, ini bid'ah." Ia harus berpegang pada lafazh yang diriwayatkan. Namun, jika seseorang mengucapkan, "Allahumma shalli ‘ala Muhammad." (tidak lengkap seperti lafazh shalawat Ibrahimiyyah) maka ia telah melaksanakan perintah untuk bershalawat kepada Nabi ﷺ secara umum. Lafazh yang paling sempurna dalam bershalawat adalah seperti yang diajarkan oleh Nabi ﷺ, "Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad, kamaa shallaita ‘ala Ibraahim..." dan seterusnya. Ini adalah lafazh yang paling sempurna. Allah memerintahkan kita untuk beristighfar. Jika seseorang mengucapkan, "Astaghfirullah," maka ia telah melaksanakan perintah untuk beristighfar. Namun, jika ia menggunakan lafazh Sayyidul Istighfar, "Allahumma anta rabbi, laa ilaaha illa anta, khalaqtani wa ana ‘abduka..." dan seterusnya, maka ini adalah bentuk istighfar yang lebih sempurna. Namun, permasalahannya adalah jika seseorang menggunakan lafazh selain yang diwajibkan, apakah hal itu diperbolehkan atau tidak? Mayoritas ulama mengatakan, "Tidak ada masalah dalam hal ini." Sebagaimana dalam contoh yang telah saya sebutkan, jika seseorang sekarang duduk (atau aktifitas lainnya di luar shalat) dan mengucapkan, "Allahumma shalli wa an‘im wa baarik wa sallim ‘ala qudwatina wa sayyidina wa muqaddamina ﷺ," apakah ia telah melakukan sesuatu yang terlarang? Mayoritas ulama mengatakan, "Tidak," karena perkataan ini tidak mengandung sesuatu yang bermasalah. Ia tetap bershalawat kepada Nabi ﷺ.
Kemudian Prof. As-Sabt mengutip hadits Rifa’ah yang menceritakan bacaan i’tidal rekaan salah seorang shahabat Nabi yang tidak terkenal, lalu menyitir komentar Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalaniyy,
استُدِلَّ به على جواز إحداث ذكرٍ في الصلاة غير مأثورٍ؛ إذا كان غير مخالفٍ للمأثور[18].
“Hadits ini dijadikan dalil atas bolehnya mengkreasikan dzikir dalam shalat yang tidak dipatenkan langsung secara khusus oleh Rasul untuk shalat, sepanjang tidak bertentangan dengan yang paten.”
[https://khaledalsabt.com/explanations/144/]
Asmaul Husna Universe merupakan lembaga pusat pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan (pusdiklatlitbang) Asmaul Husna. Asmaul Husna Universe berkantor di Jl. Hayam Wuruk no. 1, RT. 03 RW. 05, Sukodadi, Lamongan, Jawa Timur, 62253. Untuk kerjasama bisa melalui 082140888638 atau asmaulhusnauniverse@gmail.com. Harga all varian buku saku lipat harmonika Asmaul Husna @Rp 3.000,- (disc. up to 50 %). Dukung pendirian Asmaul Husna World, sebuah permanent exhibition media pembelajaran dan artefak Asmaul Husna gratis.
Oleh Ustadz H. Brilly El-Rasheed, S.Pd., M.Pd., C.Ed. (Founder Asmaul Husna Universe)
Post a Comment