Header Ads

Allah Al-Hayiyy (Maha Malu) Sangat Pencemburu | Brilly El-Rasheed | 082140888638



Kata ghirah (غيرة),dalam bahasa Arab secara literal bisa bermakna cemburu. Ghirah didefinisikan dengan ta’alluqun syadiidun bisyakhsh al-habiibi zhanna anna hunaaka man yusyaarikuhu fii hubbihii. Yakni keterikatan yang erat kepada seseorang dengan sangat lalu menyangka bahwa seseorang tersebut menduakan cinta. Ghirah merupakan fithrah manusia. Ketika seseorang memiliki perasaan kepada orang lain khususnya lawan jenis, maka ghirah ini akan muncul. 


Ghirah dialihbahasakan menjadi cemburu atau jealous. Cemburu itu seperti ungkapan, “Enaknya ya dia dicintai Allah, saya juga ingin dicintai Allah. Beruntung sekali dia dijadikan wali-Nya oleh-Nya, saya sudah berjuang keras untuk mewujudkan apa saja yang diinginkan-Nya, sepertinya belum jadi wali-Nya.” Intinya ghirah itu tidak mau tersaingi, tersingkirkan, tergantikan, terkalahkan, diduakan, dikesampingkan, diabaikan, disetarakan. Ghirah itu ingin menjadi ‘hanya satu-satunya’ tanpa yang lain.


Ada beberapa pembagian ghirah yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam Madarij As-Salikin; yaitu ada yang mengatakan bahwa ghirah dapat dilihat dari dua aspek, yakni sikap yang ingin menjadikan baik dari sesuatu dalam diri yang buruk (al-ghirah min asy-syai’), dan sikap yang ingin meningkatkan sesuatu dalam diri yang baik menjadi lebih baik lagi (al-ghirah fi asy-syai’). Ada juga yang mengatakan, bahwa ghirah adalah perubahan sikap dari tindakan baik yang berdimensi fisik menjadi tindakan yang berdimensi psikis (al-ghirah min nafsihi ‘ala nafsihi). Juga, ghirah adalah perubahan sikap dari tindakan yang selalu ingin mendapatkan sesutu dari Allah, menjadi tindakan yang selalu ingin menyembah-Nya (ghirah al-haqqi ‘ala ’abdihi wa ghirah al-‘abd li Rabbihi).


Allah Al-Hayiyy (Mahamalu) sangat cemburu kepada hamba-Nya, sebagaimana diriwayatkan,

عنْ أبي هُريرةَ رَضْيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبيِّ صلَّي اللهُ علَيه وسلَّم, قَالَ: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَغَارُ, وَغَيْرَةُ اللَّهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ. متَّفقٌ عَليْه

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki kecemburuan. Kecemburuan Allah adalah jika seorang mukmin mengerjakan apa yang diharamkan oleh-Nya.” Rasulullah bersabda pula,

لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، فَلِذَلِكَ حَرَّم الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَر مِنْهَا وَمَا بَطن

“Tiada yang lebih besar cemburunya daripada Allah, dan di antara kecemburuan-Nya adalah Dia mengharamkan kekejian; baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” [Shahih Muslim]


Seorang mukmin memahami, bahwa Allah memiliki sifat cemburu, Dia tidak ingin disekutukan dengan selain-Nya, dan tidak ingin ada yang lebih diutamakan oleh seorang hamba dari-Nya. Imam Al-Harawiyy dalam Manazil As-Sa`irin menyebutkan di antara contoh ghirah, ahli ibadah kecewa tatkala kehilangan suatu amal lantas berusaha mengganti amal yang setara atau berusaha menyusul apa yang terlambat dikerjakan. 


Para leluhur kita (generasi Salaf) hanya gara-gara tidak berhasil melakukan amal unggulan saja menghukum diri sendiri. Diriwayatkan dari Nafi' bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar jika ketinggalan shalat jamaah Isya maka dia menghidupkan seluruh malamnya." Rupanya habit tersebut diturunkan oleh sang ayah kepadanya. ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu keluar ke kebunnya di pesisir kota Madinah, kemudian dia kembali ke Madinah sedangkan manusia pada saat itu telah mengerjakan shalat Ashar. Maka dia sangat sedih atas musibah yang menimpanya, yaitu ketinggalan shalat jamaah. Maka dia menghukum dirinya yang telah disibukkan oleh kebun sehingga lupa mentaati Allah, dengan menshadaqahkan kebun itu karena Allah. Dia berkata kepada dirinya, “Tidak ada barakah bagi kebun yang menjadikan lupa dari ketaatan kepada Allah!” [Az-Zuhd li Abi Dawud]





Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.