Urgensitas Belajar Muqaranatul-Madzahib | Brilly Elrasheed | 082140888638
Islam Sudah Dipelajari Beraneka Otak Jutaan Ulama Sejak Zaman Nabi. Islam bukan agama kemarin sore. Islam sudah dipelajari jutaan manusia sebelum kita. Islam diturun-temurunkan dari generasi ke generasi dalam keadaan terjaga otentisitasnya. Islam dipelajari oleh para pakar secara bersanad (transmisional) kecuali muslim yang sok pintar. Islam dipelajari seluruh penduduk berbagai penjuru dunia dengan keragaman kapasitas akal, bahasa, budaya, geografi, ekonomi, sosial, sejarah, selera, ghirah, dan lain-lain.
Islam sejak zaman Rasulullah dalam hal-hal parsial kadangkala dipahami berbeda-beda. Perbedaan pemahaman terhadap teks Al-Qur`an dan As-Sunnah disebut madzhab. Madzhab adalah singkatan dari ma dzahaba ilaih al-imam, apa pendapat seorang imam tentang sesuatu. Pada dasarnya semua muslim berpeluang berpendapat atas Quran-Sunnah namun pendapat apapun tertolak setelah mengalami proses seleksi alam ketika pendapat tersebut tidak teruji argumentasinya oleh publik. Pendapat yang teruji lah yang dianut banyak umat sebagai madzhab. Dalam perjalanan waktu, madzhab terus didiskusikan dan teruji untuk kepastian kebenarannya sebagai manifesto keberislaman. Madzhab juga terpolar dalam polarisasi ilmu: tafsir, qira`at, hadits, ‘aqidah, tashawwuf, dan lainnya.
Sejak masa para Shahabat Nabi ﷺ, hingga generasi tabi’in dan atba’ tabi’in, umat Islam telah mengenal dan mengakomodir ragam bentuk keberagamaan yang memiliki dasar yang valid. Perbedaan dalam hal fiqih bukanlah hal baru dalam sejarah Islam. Justru sejak awal, para Shahabat berbeda dalam memahami sebagian dalil, namun semuanya diakui selama memiliki sanad yang shahih dan rujukan ilmiah yang dapat ditelusuri landasannya sampai kepada Rasulullah ﷺ. Tradisi inilah yang menjadi pondasi utama dari studi fiqih perbandingan madzhab — bukan untuk memecah, tapi untuk memperkaya dan menjaga keluasan Islam.
Dalam perjalanan sejarah, setidaknya ada 27 madzhab yang tahan uji hingga berabad-abad. Kita runut meski tidak urut era: (1) Al-Hanafiyy, (2) Al-Mālikiyy, (3) Asy-Syafi'iyy, (4) Al-Hanabilah, (5) Al-Hasan Al-Bashriyy, (6) Az-Zuhriyy, (7) Ath-Thabariyy, (8) 'Ubaid bin 'Umair, (9) Asy-Sya'biyy, (10) 'Atha` bin Abi Rabah, (11) Ibrahim An-Nakha'iyy, (12) Rabi'ah, (13) Ibnu Abi Laila, (14) Al-Auza'iyy, (15) Al-Laits bin Sa'd, (16) Sufyan bin 'Uyainah, (17) Is-haq bin Rahawaih, (18) Abu Tsaur, (19) Dawud Azh-Zhahiriyy, (20) Sufyan Ats-Tsauriyy, (21) Sa'id bin Al-Musayyib, (22) 'Umar bin 'Abdul-'Aziz, (23) Ja'far Ash-Shadiq, (24) Muhammad bin Sirin, (25) Ibnu Syubrumah, (26) Thawus, (27) Sa'id bin Jubair. Sebenarnya madzhab tidak hanya 27. 27 madzhab inilah yang terekam dengan baik dalam kitab Rahmatul-Ummah fi Ikhtilafil-A`immah.
Ada pepatah di kalangan para ulama, "Belum mencium bau fiqih kalau belum belajar perbedaan pendapat para ulama." Islam sudah dipelajari sejak lebih dari 1.440 tahun yang lalu oleh jutaan ulama, bukan baru kemarin sore atau baru sejak berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Kitab ini membahas Islam dari 27 perspektif madzhab mulai dari thaharah, najis, haid, halal-haram makanan, shalat, zakat, puasa, haji dan umrah, jual-beli (muamalah), pernikahan, perceraian, hak asuh anak, sampai hubungan anak budak dan tuan. Dengan belajar perbedaan pendapat ulama Salaf, kita menjadi toleran, tidak ekstrim-radikal, mudah dalam berislam dalam situasi yang tidak memungkinkan, tidak menjadi katak dalam tempurung, dan lain sebagainya.
Rendahnya akses dan ketertarikan terhadap kajian muqaranatul-madzahib di berbagai kalangan — baik awam maupun akademisi — justru membuka celah bagi pemikiran menyimpang dan eksklusif. Banyak dari mereka yang mudah menuduh sesat hanya karena tak memahami bahwa perbedaan itu adalah bagian dari warisan Islam. Dari situlah sering kali lahir ekstremisme dan sikap takfiri yang mengabaikan sanad, adab, dan keilmuan. Salah satu akar dari munculnya radikalisme dan terorisme adalah rendahnya pemahaman terhadap perbedaan pendapat dalam Islam. Ketika seseorang hanya membaca satu madzhab atau bahkan hanya satu tokoh, lalu menutup diri dari khazanah fiqih lainnya, maka ia akan mudah menyalahkan, mengkafirkan, bahkan membenci pihak lain.
Belajar fiqih perbandingan madzhab (muqāranatul-madzāhib) merupakan salah satu pilar penting dalam penguatan pemahaman keislaman yang moderat, adil, dan berperspektif luas. Dalam sejarah Islam, perbedaan pendapat di kalangan ulama bukanlah aib, melainkan kekayaan intelektual yang menunjukkan dinamika ijtihad dalam merespon kebutuhan umat. Melalui perbandingan madzhab, seorang akademisi tidak hanya mampu mengetahui hukum suatu masalah, tetapi juga dapat memahami dasar argumentasi dan konteks sosial yang melatarbelakanginya. Ini menjadi bekal untuk menyikapi perbedaan dengan sikap ilmiah dan tidak sempit.
Kebutuhan terhadap pemahaman lintas madzhab semakin mendesak dalam era globalisasi saat ini, di mana interaksi antarumat Islam lintas negara menjadi hal yang lumrah. Umat Islam tidak hanya ada di Makkah, Madinah, atau Indonesia, tetapi tersebar di seluruh penjuru dunia dengan ragam praktik keislaman. Maka, memahami variasi perbandingan madzhab fiqih membantu kita melihat bahwa Islam bukan satu warna tunggal, tetapi memiliki spektrum praktik yang tetap berada dalam koridor Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Islam bukan satu versi tunggal, melainkan agama yang Allah hadirkan dengan rahmat melalui keragaman ulama dan madzhab. Para ulama sejak dahulu tidak pernah seragam dalam seluruh perkara. Maka, mempelajari ikhtilaf melalui buku terjemahan ini akan membuat kita lebih bijak dalam berdakwah dan tidak mudah mengklaim kebenaran tunggal. Perspektif semacam ini sangat dibutuhkan di tengah masyarakat yang cenderung reaktif terhadap perbedaan. Para ulama terdahulu saling menghormati satu sama lain meskipun berbeda dalam istinbath hukum, karena mereka memahami bahwa metode ijtihad yang mereka gunakan bersumber dari kejujuran ilmiah dan semangat mencari kebenaran.
Dalam konteks masa kini, di mana umat Islam sering terpecah hanya karena perbedaan pandangan dalam masalah cabang agama (furu’iyyah), pembelajaran fiqih perbandingan madzhab menjadi sangat penting. Ia membantu umat untuk tidak bersikap fanatik sempit, serta membuka wawasan bahwa Islam bukan agama yang kaku, melainkan penuh kelapangan dan kasih sayang. Dengan belajar fiqih lintas madzhab, kita akan tumbuh menjadi Muslim yang cerdas dalam berpikir, santun dalam berdakwah, dan ramah terhadap sesama. Inilah karakter Islam yang sejati, sebagaimana dicontohkan para ulama salaf. Kita perlu menjadikan toleransi ilmiah sebagai pondasi dalam bermasyarakat dan beragama di tengah keberagaman umat Islam saat ini.
Kitab ini paling ringkas dibanding semua kitab perbandingan madzhab. Rahmatul Ummah lebih ringkas dan praktis daripada Bidayatul-Mujtahid, Al-Mizan Al-Kubra apalagi Al-Fiqh 'ala Al-Madzahib Al-Arba'ah dan lain-lain. Kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah merupakan Referensi Studi Fiqih Perbandingan Madzhab (Muqaranatul Madzahib). Memuat lebih dari 27 Madzhab Klasik Generasi Salaf, Mulai dari Fiqih 4 Madzhab Standar yakni Hanafiyy, Malikiyy, Syafi'iyy, dan Hanbaliyy, hingga Madzhab-madzhab 'Asing/Nyeleneh'/Gokil.
UD. Elrasheed Publisher adalah sebuah indie publishing yang sudah menerbitkan lebih dari 234 buku (update Nopember 2025). Sebenarnya embrio UD. Elrasheed Publisher sudah beroperasi sejak medio awal tahun 2011 dan sudah menerbitkan puluhan bahan literasi. UD. Elrasheed Publisher menerbitkan buku cetak dan buku digital. Pembelian Buku Cetak: 082140888638 atau www.shopee.co.id/brillyelrasheed dan pembelian Ebook: Google Play Book dan www.myedisi.com/elrasheed.



Post a Comment