Asmaul Husna Sudah Berbahasa Arab Sejak di Al-Lauh Al-Mahfuzh | Brilly Elrasheed | 082140888638
Dalam elaborasi studi ‘aqidah kaum Asy’ariyyah, Kalamullah pada asalnya sebelum ditulis dalam Al-Lauh Al-Mahfuzh adalah tanpa suara, tanpa huruf, tanpa bahasa, tanpa nada. Simpulan ini menjadi semakin terlihat kebenarannya tatkala ditinjau dari sudut pandang Asmaul Husna. Allah ada sementara segala sesuatu baru ada setelah diadakan oleh Allah. Bahasa Arab yang ‘dipinjam’ Allah sebagai sumber kosa kata Al-Qur`an baru ada setelah Nabi Ismail bersama sang ibu mbaurekso atau bubak alas karena menemukan mata air zamzam. Lalu suku Jurhum dan lainya meminta izin berdomisili di sekitaran Ka’bah. Dari perjumpaan lintas budaya itulah secara evolutif lahir bahasa Arab yang ‘dipinjam’ Allah untuk membahasakan firman-Nya.
Proliferasi bahasa Arab ini memantik pertanyaan sejak kapan Al-Qur`an sudah bahasa Arab seperti yang kita baca hari ini: sejak Allah memerintahkan malaikat mencatat di Al-Lauh Al-Mahfuzh atau sejak dilafazhkan oleh Rasulullah yang kemudian dicatat oleh para shahabat? Aksiomatika sederhana lebih nyaman bila di Al-Lauh Al-Mahfuzh Al-Qur`an sudah berbahasa Arab. Al-Qur`an sudah ditulis di Al-Lauh Al-Mahfuzh ratusan tahun sebelum penciptaan manusia sebagaimana ditulisnya seluruh taqdir makhluq.
Taqdir dan segala perubahan taqdir juga merupakan taqdir itu sendiri. Proses pembentukan bahasa Arab termasuk pula ke dalam taqdir. Alur logika taqdir meniscayakan Asmaul Husna yang merupakan predikat-predikat Allah sudah berbahasa Arab sejak di Al-Lauh Al-Mahfuzh. Asmaul Husna yang kita ketahui sekarang yakni berbahasa Arab adalah dengan nisbat kepada kita yakni agar kita memahami Asmaul Husna karena Allah menyatakan dalam Al-Qur`an bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang memudahkan untuk dipahami. Jadi adanya Asmaul Husna menggunakan entry-entry bahasa Arab bukan dalil bahwa Allah berkalam sejak azaliyy hanya dengan bahasa Arab yang notabene hadits (baru) bukan qadim. Jika kalamullah ketika belum dicatat di Al-Lauh Al-Mahfuzh sudah berbahasa Arab sejak azaliyy maka berarti bahasa Arab bersifat qadim juga dan ini mustahil.
Seluruh Asmaul Husna termasuk proper name nama Allah itu sendiri adalah menggunakan bahasa Arab. Maka ke-Arab-an Asmaul Husna bukan qadim tapi baru berbahasa Arab ketika dicatat di Al-Lauh Al-Mahfuzh karena dinisbatkan kepada manusia sebagai ilmu tentang Allah. Bahasa Arab digunakan oleh Allah untuk memperkenalkan diri-Nya kepada manusia yang multibahasa yang dinamis (bisa berubah). Allah tidak butuh bahasa Arab tapi manusia butuh terhadap bahasa Arab untuk mengenal Allah dan memahami kalam Allah. Jadi nama Allah bukanlah Allah itu sendiri.
Bahasa Arab menjadi wasilah bagi kita untuk mengenal Allah dengan seluruh Asmaul Husna-Nya. Manusia tidak bisa berpikir kecuali dengan ujaran lisan atau qalbu. Untuk bisa berujar, manusia butuh wasilah: yakni bahasa, nada, huruf, dan suara meski hanya suara batin. Oleh karena itu Allah memanfaatkan bahasa Arab sebagai wasilah bagi manusia untuk mengenal diri-Nya. Kita tidak bisa mengenal Allah kecuali melalui Asmaul Husna yang dari Nabi Muhammad sudah berbahasa Arab. Berbeda situasinya kalau kita adalah umat Nabi Adam Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Sulaiman Nabi Isa dan lainnya yang bukan berbahasa Arab maka kita mengenal Allah dan Asmaul husnanya melalui bahasa mereka masing-masing.
Imam Al-Ghazaliyy dalam Raudhah Ath-Thalibin memaparkan,
Pahamilah bahwa menurut Ahlus Sunnah seluruh Asmaul Husna itu merujuk kepada Dzat dan tujuh sifat. Ini berbeda dengan kelompok Mu'tazilah dan para filosof. Asma tersebut bukanlah penyematan, bukan pula yang diberi nama. Demikianlah pandangan yang benar karena pengertian nama adalah lafazh yang diciptakan untuk menunjukkan sesuatu yang diberi nama. Ketahuilah, kesempurnaan dan kebahagiaan hamba itu hanya dengan berakhlaq seperti akhlaq Allah, serta berhias dengan makna-makna Asma dan sifat-sifat-Nya sejauh yang bisa ia gambarkan. Janganlah sekali-kali engkau mengira bahwa kemiripan dalam setiap sifat menghendaki kesamaan. Itu sangat jauh.
Tidakkah kautahu Allah itu berada tidak pada suatu tempat (meski Allah punya ‘Arsy-pnrj.). Dia Hidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Berkehendak, Maha Mendengar, Maha Berbicara dan Aktif, dan manusia juga demikian. Akankah engkau melihat bahwa yang menetapkan sifat-sifat tersebut bagi manusia serupa dan sama. Persoalannya tidak demikian. Tetapi kesamaan itu berarti kesamaan dalam jenis dan esensi. Sementara itu, keistimewaan Allah adalah Dia itu wujud yang Wajibul Wujud dengan Dzat. Dengan kekuasaan-Nya maka wujudlah segala sesuatu yang mungkin wujud dengan keteraturan dan kesempurnaan yang paling indah. Keistimewaan ini sama sekali tak terbayangkan kemiripan maupun kesamaannya, bahkan tidak ada yang mengetahuinya selain Allah. Jadi, seluruh makhluk tidak akan mengetahui selain kebutuhan alam yang teratur dan sempurna ini terhadap Pencipta Yang Hidup, Mengetahui, dan Kuasa.
Makrifat semacam ini memiliki dua jalan: Pertama, berhubungan dengan ilmu, dan yang diketahui membutuhkan perancang. Kedua, berkaitan dengan Allah dan yang Dia ketahui, yaitu asma-asma yang diturunkan dari sifat-sifat yang tidak termasuk dalam hakikat dan esensi Dzat. Jika kita katakan bahwa Dia Hidup, Mengetahui, dan Kuasa, itu berarti sesuatu yang samar (mubham) yang memiliki sifat hidup dan kuasa karena hamba tidaklah mengetahui selain dirinya terlebih dahulu, kemudian membandingkan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat dirinya. Mahasuci sifat-sifat Allah yang menyerupai sifat sifat kita. Dengan demikian, mustahil untuk mengetahui Allah secara hakiki selain Allah sendiri. Bahkan, mustahil mengenali kenabian, kecuali sang nabi sendiri. Sehingga selain nabi tidak akan mengetahui kenabian melainkan sekadar namanya.
Jika dikatakan, “Lantas, apakah puncak makrifat kaum arifin terhadap Allah?” Kami menjawab, “Puncak makrifat mereka, jika tersingkap kemustahilah pengetahuan hakikat Dzat Allah bagi selain Allah. Dan, keluasan makrifat orang-orang yang telah menggapai makrifatullah dengan mengetahui asma dan sifat-sifat-Nya. Maka, sejauh apa pengetahuan dan keajaiban kekuasaan-Nya, serta keindahan ayat-ayat-Nya di dunia maupun di Akhirat yang tersingkap bagi mereka. Di sinilah letak perbedaan derajat makrifat kepada Allah. Allah Maha Mengetahui.” [Raudhah Ath-Thalibin]
Setiap muslim wajib untuk mengenal Allah dan mengulang-ulang nama-nama-Nya agar pikirannya terdikte oleh substansi Asmaul Husna. Kata Imam As-Sanusiyy dalam Ummul-Barahin, “Dianjurkan bagi orang yang berakal agar memperbanyak mengulang-ulang (merepetisi) dibaca/dihafal sambil berusaha menghadirkan segala makna substansial la ilaha illAllah Muhammad rasuluLlah (dalam pikiran sampai penuh jejal) sebagai keyakinan-keyakinan dasar keimanan. Sehingga maknanya menyatu dalam darah dagingnya. Bila sudah demikian maka dia akan diperlihatkan rahasia-rahasia dan keanehan-keanehan bila Allah menghendaki. Diperlihatkan sesuatu yang tersembunyi yang tidak dibuka di muka umum.” Seperti dinyatakan Imam Ibnu Hajar dalam Fat-h Al-Bari bahwa la ilaha illAllah itu sendiri adalah Asmaul Husna. Maka kita mesti mengulang-ulang Asmaul Husna kapanpun di manapun bagaimanapun.
Syaikh Muhammad Nafis Al-Banjariyy menjelaskan dalam Ad-Durr An-Nafis, “Kaifiyat (cara-cara) memusyahadahkan tentang ke-Esa-an nama-nama Allah adalah sebagai berikut, “Anda pandang dengan mata kepala dan Anda syuhud (pandang/ tanggapi) dengan mata batin, bahwa segala nama apa punjuga pada hakikatnya kembali kepada sumbernya/ asalnya ialah nama Allah.” Alasannya ialah, bahwa nama apa pun juga yang ada di dalam alam ini tentu ada yang diberi nama (wujud musamma). Dalam arti hakiki sudah jelas bahwa “tidak ada yang maujud/diadakan ini, kecuali Allah.” Segala yang maujud (yang diadakan) pada hakikatnya hanyalah khayal (kosong) atau waham (sangka-sangka) belaka, bila dinisbahkan (dibandingkan) dengan Wujud Allah.”
Individu manapun yang mau mengulang-ulang Asmaul Husna baik dalam lisan maupun pikiran maka akan sangat dekat dengan Allah sehingga memiliki kehidupan dunia-Akhirat yang indah. Jikalau ingatan kita hanyalah Allah maka kita tidak akan sibuk dengan makhluq baik sibuk yang ditolerir apalagi sibuk dalam hal maksiat. Benar-benar tidak enak kehidupan personal dan komunal yang ingatannya tidak sepenuh-penuhnya tentang Allah.
Syaikh Nafis lantas mengutip keterangan Syaikh ‘Abdullah bin Hijaziyy As-Syarqawiyy Al-Mishriyy dalam Syarh Wird As-Sahur, “Apabila Tajalli Allah Ta’ala (tampak) dengan asma-Nya/nama-nama-Nya Zhahir terhadap hamba-Nya, niscaya si hamba itu akan dapat melihat. bahwa segala akwan (kejadian) semua ini adalah Kebenaran Allah, sepanjang pengertian bahwa zhahir akwan itu adalah dengan zhahirnya Allah. Berdirinya akwan itu dengan nyatanya qayyumiyah-Nya (sifat qiyamuhu ta’ala binafsihi – berdiri Allah dengan sendiri-Nya) dan Kekalnya Allah. Karena tidak akan mungkin bagi akwan ini ada dengan sendirinya. Dan pula tidak mampu si hamba membedakan satu per satu segala akwan ini. Jelasnya hanya pada suatu pengertian bahwa makhluq ini hanya sekedar mazh-har/sandaran semata-mata. Si hamba dapat memandang (musyahadah) bahwa Allah adalah hakikat segala sesuatu sebagaimana yang difirmankan oleh Allah di dalam Al-Qur`an, “Ke mana pun kamu berhadap, di sana lah Wujud Allah,” Maksudnya, ke mana pun dan di mana pun akal, qalbu dan ruh ini dihadapkan di sanalah adanya Allah.” Karena itulah kadang-kadang tergelincir lisan, keluar kata-kata Syathathah (Syath-hiyyat) suatu kata-kata “kejutan” yang tidak dibenarkan oleh syara (hukum) hal mana merupakan suatu bahaya musyahadah. Tidak terlihat lagi baginya segala akwan ini, karena sepenuhnya memandang Wujudullah yang muthlaq.”



Post a Comment