Header Ads

Pentingnya Belajar Hadits Musalsal | Brilly El-Rasheed | 082140888638

 


Hadits artinya, menurut Ahli Hadits,

كُلُّ مَا أُثِرَ عَنِ النَّبِيِّ  مِنْ قَوْلٍ اَوْفِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ اَوْ خُلُقِيَّةٍ

“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi  baik berupa sabda, perbuatan, taqriri, sifat-sifat dan hal ihwal Nabi” Sedangkan menurut Ahli Ushul Fiqh,

كًلُّ مَا صَدَرَ عَنِ النَّبِيِّ  غَيْرُ القُرْانِ الكَرِيْمِ مِنْ قَوْلٍ اَوْفِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ مِمّا يَصْلُحُ اَنْ يَكُوْنَ دَلِيْلاً لِحُكْمٍ شَرَعِيٍّ

“Hadits, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi  selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang berhubungan dengan Hukum Syara”


Hadits adalah berita tentang segala hal yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad. Hadits adalah sumber hukum kedua dalam Syariat Islam setelah Al-Qur`an. Hadits adalah penjelas Al-Qur`an. Tanpa Hadits akan banyak ayat-ayat Al-Qur`an yang tidak dipahami oleh manusia sebab sejatinya hadits adalah ucapan dan perbuatan Rasulullah, dan Rasulullah diutus oleh Allah untuk menjelaskan Al-Qur`an kepada manusia.


Sungguh mulia Nabi Muhammad. Sungguh mulia para sahabat  yang membawakan sunnah-sunnah Nabi kepada kita. Sungguh mulia para rawi (reporter) dan muhaddits yang menyampaikan hadits-hadits Nabi kepada kita hingga hari ini. Sungguh mulia siapa saja yang membaca hadits Nabi lalu menghafalnya lalu menyampaikannya kepada khalayak.


Hadits Nabi  sangat banyak. Kitab hadits juga sangat banyak. Riwayat tentang satu hadits dari Nabi bisa bervariasi lafazh (matan/redaksi) meski hanya satu-dua kata, bisa pula ada tambahan atau pengurangan. Maklum saja, para sahabat Nabi saling berlomba untuk menjadi yang terdepan dalam menyampaikan apa saja dari Nabi sedangkan pengalaman mereka berbeda-beda ketika berurusan dengan Nabi.


Sunnah Rasulullah adalah jalan hidup sekaligus keberislaman Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Sunnah Muhammad bin ‘Abdullah adalah satu pola keseharian yang mesti kita jiwai, semenjak beliau lahir hingga wafat, sesuai kapasitas kita. Dalam mana kita adalah muslim yang notabene beriqtida` kepada beliau (menggunakan beliau model/contoh bagi kita), maka Sunnah beliau adalah ibarat Al-Qur`an. Ketersesatan merupakan buah jauhnya kita dari Sunnah Al-Mushthafa, karena Allah Al-Karim memesankan kita untuk memeganginya teguh.


Hadits atau Sunnah Nabi terbagi menjadi delapan kategori, dalam hemat Penulis. Mayoritas ulama sepakat ada empat saja, sedangkan satu diperselisihkan secara konseptual, dan satu lagi adalah hasil elaborasi Penulis, satu lagi tidak mesti diduplikasi, dan terakhir tidak boleh diduplikasi. Apa saja itu? (1) Hadits Qauliyyah; (2) Hadits Fi’liyyah; (3) Hadits Taqririyyah; (4) Hadits Hammiyyah; (5) Hadits Tarkiyyah; (6) Hadits Maqashidiyyah atau Manhajiyyah atau Ma’nawiyyah; (7) Hadits Khalqiyyah atau Syama`iliyyah; (8) Hadits Takhshishiyyah atau Khushushiyyah. Jadi, hadits Nabi itu berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, keinginan, peninggalan (tidak melakukan secara sengaja), maksud/gaya/makna, fisik Nabi secara default penciptaan, dan kekhususan Nabi yang tidak boleh ditiru. 


Dalil itu hanya bisa ditemukan oleh orang yang sudah membaca sumber-sumber (referensi) hadits tadi, itupun harus dengan akal yang kuat dan jeli, ditambah ingatan yang bagus. Pun, butuh sanad. Sekadar pernah baca, belum tentu pahamnya benar. Harus crosscheck dengan pemahaman para ulama sebelumnya secara transmisional hingga Nabi. Apalagi, terlalu banyak ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Nabi yang multimakna sehingga berkonsekuensi perbedaan implementasi.


Kita tidak bisa belajar hadits sekadar membaca secara mandiri kitab-kitab hadits sekalipun sudah mahir bahasa ‘Arab. Para ulama dari generasi ke generasi tidak mendapatkan hadits secara langsung dari Rasulullah kecuali para shahabat saja karena mereka pasti bertemu beliau. Sepeninggal Nabi, umat Islam mendapatkan hadits melalui mulut ke mulut dan tulisan ke tulisan. Si fulan mendapatkan hadits dari si fulan yang bertemu Nabi. Si fulan ketiga yang sudah beda generasi mendapatkan hadits dari si fulan yang kedua. Si fulan keempat yang juga beda generasi mendapatkan hadits dari si fulan yang ketiga. Demikian seterusnya hingga si fulan pada generasi sekarang mendapatkan hadits dari si fulan pada generasi sebelum kita. Tidak mungkin si fulan generasi keempat mendapatkan hadits dari si fulan generasi pertama sebab mustahil pernah bertemu.


Transmisi (penyaluran/perpindahan) hadits secara lisan dan tulisan dari generasi ke generasi disebut sanad. Orang-orangnya disebut pe-rawi (reporter). Transmisi hadits dipersyaratkan perjumpaan secara fisik antarperawi dalam keadaan muslim, waras akal, dhabit, ‘adil, non-fasiq, dan menjaga kode etik keulamaan. Apabila proses pentransmisian diwarnai dengan pola-pola tertentu maka haditsnya disebut hadits musalsal. Hadits musalsal adalah hadits yang disampaikan para pe-rawi (reporter) dari Nabi Muhammad secara turun-temurun, berurutan dan sama dalam keadaan dan situasi tertentu, baik secara perbuatan maupun perkataan. Sedangkan hadits pada umumnya ditransmisikan secara lisan dan atau tulisan begitu saja tanpa diwarnai pola-pola tertentu pada pe-rawi setiap generasi.


Hadits musalsal memiliki sifat yang menjadi ciri khas yang diikuti dari rawi pertama sampai rawi terakhir. Tabligh (penyampaian) hadits Nabi kepada umat yang awam tidak mesti dibacakan sanadnya kecuali hadits Nabi yang bersifat musalsal. Setiap kali hendak mengajarkan hadits musalsal maka kita mesti membaca sanadnya berikut pola yang dipraktikkan masing-masing perawi. Kita tidak akan mengenal Allah kecuali melalui Rasulullah. Kita tidak akan mengenal Rasulullah kecuali melalui para ulama pemegang sanad. 


Dikatakan oleh Syaikh Zakariyya bin Ahmad Ath-Thalib ketika sesi ijazahan kitab ini di Kalimatan Selatan, “Kita membaca sanad adalah untuk menyambungkan qalbu kita dengan shahib al-madad.” Logikanya seperti seorang pecinta berkali-kali menyebut-nyebut nama sesuai yang dicintainya demi menjaga kebulatan/keutuhan cintanya dalam qalbunya. Di samping itu, dengan membaca sanad, kita menjadi aware (sadar) ternyata yang belajar Islam sudah banyak, tidak akan lagi sesumbar, “Baru saya yang paling concern terhadap Islam. Tidak ada sebelumnya yang perhatian terhadap Islam. Sayalah yang pertama paham Islam yang sebenarnya.” Ini igauan orang halu.


Model periwayatan hadits musalsal ini memperkuat hafalan, karena dalam sebuah hadits musalsal, ada hal lain yang menunjang untuk diingat yakni perbuatan atau ucapan pe-wari masing-masing generasi. Otomatis juga bisa meningkatkan iman terhadap hadits, karena tidak ada lagi keraguan akan validitas transmisinya. Dengan mentransmisikan hadits musalsal bahkan menghafalkannya, maka umat akan mendapatkan kepastian otentisitas ajaran Islam dari generasi ke generasi. Meskipun hadits musalsal memiliki sifat yang menjadi ciri khas yang diikuti dari rawi pertama sampai rawi terakhir, namun dalam masalah kedudukan hukum belum tentu otomatis shahih apalagi mutawatir, namun tetap boleh diriwayatkan atau diajarkan, tidak otomatis maudhu’ juga. 


Dalam masalah status, hadits musalsal belum tentu otomatis shahih apalagi mutawatir, namun tetap boleh diriwayatkan atau diajarkan, tidak otomatis maudhu’ juga. Hadits dha’if pun tidak mentah-mentah dibuang bak sampah oleh para ulama. Lebih baik mengambil ilmu dari hadits dha’if daripada dari manusia biasa sebab kedha’ifan hadits bisa jadi karena sanad bukan matan. Sebagai perbandingan, Syaikh Dr. Hisan bin Raghib Al-Qari dosen Universitas Damaskus menerangkan, “Para ulama sudah banyak yang meneliti hadits-hadits dha’if dalam Kitab Asy-Syifa yang agung ini. Para ulama sepakat menerima hadits dha’if dan tidak boleh menyetarakannya dengan hadits maudhu’. Imam Ahmad saja mengunggulkan hadits dha’if dari qiyas.” 


Periwayatan hadits musalsal yang dha’if tetap mustahabbah (disukai) tidak boleh ditinggalkan. Setiap kali kita meriwayatkan hadits musalsal berarti kita meniru para ulama dari generasi ke generasi. Bukankah sudah ijma’ bahwa tasyabbuh bi ash-shalihin menjadi jalan keselamatan sekaligus bukti wala` (loyalitas) kita kepada mereka. Kata Nabi, “Ad-Din An-Nashihah,” artinya agama Islam adalah kesetiaan. Meriwayatkan hadits dha’if tidak berarti melestarikan kebohongan sebab hadits dha’if tidak otomatis hoax.

Salah satu kitab hadits musalsal yang masih terjaga dan terabadikan sampai hari ini adalah Al-’Ujalah fi Al-Ahadits Al-Musalsalah. Al-'Ujalah fi Al-Ahadits Al-Musalsalah adalah sebuah kitab hadis yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Yasin Padang alias Al-Fadaniyy, seorang ulama Indonesia terkemuka yang tinggal di Makkah hingga wafat. Kitab ini berisi kumpulan hadits-hadits musalsal (berantai) yang paling terkenal di kalangan ulama, yang didiktekan oleh Syaikh Al-Fadaniyy kepada murid-muridnya yang bersungguh-sungguh dalam mempelajari hadits musalsal. Kitab ini merupakan kitab yang unik dan langka, karena isinya hanya memuat matan hadits musalsal dan peng-isnad-annya. Hadits yang ada di dalam Al-’Ujalah sejumlah 113 riwayat. Kitab Al-’Ujalah versi bilingual sudah diterbitkan UD. Elrasheed Publisher.





Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.