Makna Asmaul Husna Al-’Aliyy yang Benar | Brilly El-Rasheed | 082140888638
Umat Islam meyakini Allah memiliki Asmaul Husna diantaranya Al-’Aliyy Al-Muta’al Al-A’la yang artinya Allah Maha Tinggi, Allah Maha Meninggi dan Allah Maha Paling Tinggi. Tidak boleh memaknai Asmaul Husna Al-’Aliyy Al-Muta’al Al-A’la dengan maksud Allah berjarak sekian kilometer atau berdekatan sekian jengkal atau Allah berkoordinat di titik ini-itu atau Allah berlokasi di sini-di situ atau Allah mengawang/melayang di udara di atas Al-‘Arsy dan Al-Kursiyy. Keyakinan seperti ini menunjukkan kesalahpahaman terhadap Asmaul Husna. Keyakinan seperti ini berarti mempersepsikan Allah punya fisik tertentu dengan batas fisiknya tertentu dan bisa share location.
Imam Ibnu 'Atiyyah Al-Malikiyy (W 546 H) menuturkan,
و العلي : يراد به علو القدر والمنزلة لا علو المكان، لأن الله منزه عن التحيز، وحكى الطبري عن قوم أنهم قالوا : هو العلي عن خلق بارتفاع مكانه عن أماكن خلقه . قال القاضي أبو محمد عبد الحق رضي الله عنه : وهذا قول جهلة مجسمين، وكان الوجه أن لا يحكى.
“dan Asmaul Husna "Al-’Aliyy" yang dimaksud dengannya yakni ketinggian kekuasaan dan derajat bukan ketinggian tempat. Karena, sesungguhnya Allah suci daripada bertempat. Al-Imam Ath-Thabariyy mengisahkan tentang kelompok yang mengatakan, “Dialah (Allah) yang tinggi dari makhluq-Nya dengan ketinggian tempat daripada tempat-tempat makhluq-Nya.” Al-Qadhi Abu Muhammad ‘Abdul-Haqq radhiyAllahu ‘anhu mengomentari, “Ini merupakan ucapan orang-orang bodoh mujassimah dan kisah ini tidak semestinya dikisahkan.” [Al-Muharrar Al-Wajiz 1/342]
Imam Ibrahim Az-Zajjaj (W 311 H) menerangkan juga makna Asmaul Husna Al-’Aliyy sebagai nama yang tidak menunjukkan bahwa Allah berposisi/berlokasi di atas sesuatu/makhluq entah menempel atau berjarak,
العلي هو فَعِيل في معنى فاعل، فالله تعالى عالٍ على خَلْقِه وهو علي عليهم بقدرته، ولا يجب أن يذهب بالعلو ارتفاع مكان، إذ قد بينا أن ذلك لا يجوز في صفاته تقدست ولا يجوز أن يكون على أن يتصور بذهن، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرًا
“Nama Allah Al-'Aliyy adalah dengan wazan "Fa'îl" dalam makna "Fa’il", Allah Maha Tinggi atas para makhluq-Nya, Dia Maha Tinggi atas mereka dengan kekuasaan-Nya, tidak boleh dipahami dalam makna nama Allah Al-'Aliyy ini bahwa Dia meninggi di sebuah tempat/lokasi/posisi/kedudukan, karena telah kami jelaskan bahwa sifat demikian itu tidak boleh atas Allah, Dia Maha Suci dari sifat demikian itu, Dia tidak boleh digambarkan dengan menggunakan perasaan (semau manusia sesuai kapasitas pengetahuan masing-masing berdasarkan wawasan tentang dunia fisik/kasat mata-pnrj.), Allah Maha Suci dari itu semua dengan kesucian yang agung. [Tafsir Asma` Allah Al-Husna Li Az-Zajjaj hal 48]
Ada kesimpulan yang bagus tentang aqidah yang benar mengenai Allah, Imam Abi Bakar Ibnu Furak (W 406 H) mengemukakan,
اعلم أن الثلجي كان يذهب مذهب النجار في القول بأن الله في كل مكان وهو مذهب المعتزلة، وهذا التأويل عندنا منكر من أجل أنه لا يجوز أن يقال إن الله تعالى في مكان أو في كل مكان
“Ketahuilah bahwa Ats-Tsaljiyy berpendapat seperti pendapat kaum An-Najjariyyah yang mengatakan bahwa Allah berada di segala tempat/lokasi. Pendapat semacam ini juga merupakan pendapat kaum Mu'tazilah; Bagi kita kaum Ahlus Sunnah pendapat tersebut adalah mungkar (harus diingkari), karena Allah tidak boleh dikatakan berada di sebuah tempat/lokasi atau berada di semua tempat/lokasi.” [Musykil Al Hadist Libni Furak: 80]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniyy pernah ditanya tentang hadits jariyah (hadits budak wanita), yang mana di dalam hadits itu terkandung pertanyaan aina. Secara kamus kata aina berarti di mana namun orang Arab kuno maupun modern tidak selalu menggunakan kata aina sebagai pertanyaan di mana letak, posisi, tempat, kedudukan, lokasi. Contoh paling sederhana, ada kutaib (booklet) ulama Wahhabiyy yang berjudul ‘Aina Nahnu min Akhlaq As-Salaf?’ Apakah pertanyaan itu merupakan pertanyaan tentang tempat/lokasi Allah atau kedudukan/posisi Allah. Berikut fatwa Al-Albaniyy.
السٶال: حديث الجارية: ﺃين الله؟ قالت في السماء. هل هو جوب عن فرضية مكان ﺃو فرضية مكانة؟ الجواب: ليس هذا ولا هذا اي ﺃن الجواب ليس عن سٶال مكانة ولا عن مكان. ﺃما ﺃنه ليس سٶالا عن المكانة فلان مكانة الله المعنوية معروفة لذي كل المسلمين بل حتی الكافرين. ﺃما ﺃنه ليس سٶالا عن المكان فذلك ﻷن الله عز وجل ليس له مكان. ... لكن نقول: ان الله منزه عن المكان باتفاق جميع علماء اﻹسلام. لماذا؟ ﻷن الله كان ولا شيئ معه، وهذا معروف في الحديث الذي في صحيح البخاري عن عمران بن حصين: كان الله ولا شيئ معه. ولا شك ﺃن المكان هو شيئ. اي: هو شيئ وجد بعد ان لم يكن. وﺇذا قال الرسول: كان الله ولا شيئ معه. معناه: كان ولا مكان له، ﻷنه هو الغني عن العالمين، هذه الحقيقة متفق عليها.
Soal, “Hadits Jariyah (budak wanita), “Dimana Allah?” Budak menjawab, “Di langit”. Apakah hadits ini merupakan jawaban dari kewajiban penetapan tempat atau kedudukan bagi Allah? Jawab Syaikh Al-Albaniyy, “Hadits itu bukanlah tentang ini (tentang tempat/lokasi Allah) dan juga bukan ini (kedudukan/posisi Allah)). Dan jawaban Nabi bukanlah sebuah jawaban dari pertanyaan tentang kedudukan/posisi Allah dan juga bukan dari pertanyaan tentang tempat/lokasi Allah. Sesungguhnya hadits tersebut bukanlah dari jawaban tentang kedudukan/posisi, karena kedudukan/posisi Allah adalah maknawiyyah, itu sudah ma’ruf (diketahui) bagi semua orang Islam bahkan sampai orang orang kafir. Dan adapun hadits tersebut bukanlah jawaban atas pertanyaan mengenai tempat/lokasi Allah, karena Allah Azza Wa Jalla tidak bertempat/berlokasi.... Tetapi, kita katakan, “Sesungguhnya Allah suci dari tempat dengan kesepakatan ulama Islam.” Kenapa begitu? Karena, Allah sudah ada dan tidak ada sesuatu yang membersamai-Nya (ketika Allah ada dan belum mencipta apapun-pnrj.). Ini sudah diketahui dalam hadits yang ada di dalam Shahih Al-Bukhariyy dari ‘Imran bin Hushain, bahwa Nabi bersabda, “Allah ada dan tidak ada sesuatu yang membersamai-Nya.” Dan tidak diragukan lagi bahwa tempat adalah sesuatu. Artinya, tempat merupakan sesuatu yang ada setelah ketiadaannya. Ketika Rasul bersabda, “Allah ada dan tidak ada sesuatu yang membersamai-Nya,” maknanya adalah Allah ada dan tanpa tempat, sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak butuh) dari seluruh alam. Inilah makna hakiki yang telah muttafaq ‘alaih (disepakati atasnya).” [Fatawa Al-Albaniyy hal. 239]
Syaikh Nashiruddin Al-Albaniyy juga mengajarkan,
وما أحسن ما قيل : المعطل يعبد عدماً ، . والمجسم يعبد صنماً .
“Paling indahnya ungkapan adalah Kelompok mu’aththil (penolak sifat Allah) mereka menyembah ketiadaan (sesuatu yang tidak pernah ada) dan kelompok mujassim (pendakwa Allah berupa fisik/materi) mereka sesungguhnya menyembah berhala (walau mengklaim menyembah Allah-pnrj.).” [Al-’Aqidah At-Thahawiyyah Syarh Wa Ta'liq Li Al-Albaniyy hal. 14]
Kemudian Syaikh Nashiruddin Al-Albaniyy menjelaskan ungkapan Imam Abu Ja'far Ath-Thahawiyy tentang Allah tidak diliputi oleh arah yang enam;
( ٤ ) قلت : مراد المؤلف رحمه الله بهذه الفقرة الرد على طائفتين : الأولى المجسمة والمشبهة الذين يصفون الله بأن له جسماً وجثة واعضاء وغير ذلك تعالى الله عما يقولون علواً كبيراً . والأخرى المعطلة الذين ينفون علوه تعالى على خلقه ، وأنه بائن من خلقه.
“(4) Aku katakan; yang dimaksud oleh mu`allif (Abu Ja'far Ath-Thahawiyy) rahimahullah dengan ungkapan ini adalah membantah terhadap dua kelompok. Pertama ialah kelompok mujassimah dan musyabbihah, yang mana mereka menyifati Allah bahwasanya Allah adalah jism (jasmani), bertubuh, beranggota badan, dan lain sebagainya. Maha Suci Allah dari ucapan mereka dengan kesucian yang agung. Dan kedua ialah kelompok mu’aththilah, yang mana mereka menolak ketinggian Allah ta’ala di atas makhluk-Nya manapun dan Allah terpisah dari (tidak menyatu) makhluq-Nya. [Al=Aqidah Ath-Thahawiyyah Syarh Wa Ta'liq Li Al-Albaniyy hal. 14]
Ketika ada muslim yang mengasumsikan Allah berada secara fisik di atas ‘Arsy menempel atau melayang dengan jarak sekian kilometer maka itu tasybih dan tajsim; menyerupakan Allah dengan makhluq dan memfisikkan Allah. Sulthanul Ulama ‘Izzuddin bin ‘Abdussalam As-Sulamiyy (W. 660 H) menyebutkan,
والآخر يتستر بمذهب السلف ،ومذهب السلف إنما هو التوحيد والتنزيه ، دون التجسيم والتشبيه.
“Dan yang lainnya (kelompok mujassimah) menutup diri mereka dengan nama madzhab salaf. Sedang madzhab Salaf adalah tauhid dan tanzih bukan tajsim dan tasybih. [Rasa`il Fi At-Tauhid Li Ibnu ‘Abdussalam hal. 16-17]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menguraikan prinsip dasar ketika menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur`an yang membicarakan tentang Allah dengan bahasa/istilah yang mutasyabihat,
وجوب الإيمان بالقرآن كله محكمـه وهـو ما اتضح معناه، ومتشابهه وهو ما أشكل معناه فنرد المتشابه إلى المحكم ليتضح معناه فإن لم يتضح وجب الإيمان به لفظًا، وتفويض معناه إلى الله تعالى.
“Dan wajib beriman kepada semuanya isi Al-Qur`an yang Muhkamat yang sudah jelas maknanya dan juga wajib mengimani yang Mutasyabihat yang tidak jelas maknanya (berdasarkan logika bahasa manusia-pnrj.). Kita mengembalikan ayat Mutasyabihat kepada ayat Muhkamat agar menjadi jelas maknanya. Jika masih belum jelas, maka, wajib mengimani lafazhnya dan menyerahkan (tafwidh) maknanya kepada Allah ta’ala. [Majmu' Fatawa Li Ibnu ‘Utsaimin 5/22]
Prinsip ini dipegangi sejak generasi Salaf. Sebagai contoh, Imam Abu Bakr Al-Baihaqiyy As-Syafi'iyy Al-Asy'ariyy meriwayatkan atsar Salaf tentang tafsir ayat bahwa Allah Al-Qahir,
(۸۸۸) أخبرنا أبو سعيد بن أبي عمرو ثنا أبو العباس الأصم ثنا محمد . بن الجهم ثنا الفراء في قوله عز وجل : وهو القاهر فوق عباده ﴾ [الأنعام: ۱۸] قال كل شيء قهر شيئا فهو مستعل عليه.
“888 - Abu Sa'id bin Abu 'Amr telah mengabarkan kepada kami, Abu Al-Abbas Al-Ashamm telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Al-Jahm telah menceritakan kepada kami, Al-Farra` menceritakan kepada kami mengenai firman Allah Azza wa Jalla, “Dan Dialah Al-Qahir (Dzat yang Maha Menguasai atas hamba-hamba-Nya), beliau berkata, “Segala sesuatu yang menguasai sesuatu lainnya, maka, sesuatu yang menguasai itu dibahasakan dengan tinggi di atas sesuatu yang dikuasainya.” [Al-Asma` Wa Ash-Shifat Li Al-Baihaqiyy 2/323]
Penjelasan Al-Farra` ini diamini oleh Imam Ibnu Jarir Ath-Thabariyy (W 310 H),
وإنما قال : « فوق عباده ) ، لأنه وصف نفسه تعالى ذكره بقهره إياهم . ومن صفة كل قاهر شيئاً ، أن يكون مستعلياً عليه.
“Sesungguhnya firman-nya Allah; Fauqa 'IbadiHi; di atas para hamba-Nya. Sesungguhnya ia (sifat tinggi/atas) merupakan sifat Allah ta’ala. Allah telah menyebutnya dengan berkuasanya terhadap mereka. Dan sifat setiap yang menguasai sesuatu, maka, keberadaannya diekspesikan dengan tinggi di atasnya. [Tafsir Ath-Thabariyy 11/288]
Lebih tegasnya Imam Ibnu Jarir Ath-Thabariyy (W 310 H) menjelaskan,
علا عليها علو ملك وسلطان، لا علو انتقال وزوال
“Allah Maha Tinggi atas makhluq-makhluq-Nya dengan ketinggian kerajaan dan kekuasaan bukan ketinggian perpindahan (dari arah atas ke arah bawah atau sebaliknya-pnrj.) dan juga bukan menghilang (mengosongkan sebuah ruang atau waktu untuk mengisi ruang atau waktu lainnya-pnrj.). [Tafsir Ath-Thabariyy 1/430]
Dengan demikian, Allah Al-’Aliyy Al-Muta’al Al-A’la artinya tinggi kerajaan dan kekuasan-Nya atas seluruh makhluq, tidak bisa sekaligus tidak boleh kita mengartikan Dzat Allah berposisi di atas sesuatu. Allah tidak bertempat di arah atas apalagi di dalam langit. Allah tidak berbentuk fisik/jisim. Allah bukan pula sebatas makna tanpa wujud. Tidak berbentuk tidak berarti tidak berwujud sebagaimana tidak berlokasi/bertempat/berposisi tidak berarti tidak ada. Kita berlokasi di atas bumi. Bumi berlokasi di bawah langit. Bintang berlokasi di bawah langit dan di atas bumi. Lalu langit berlokasi di mana? Kita tidak bisa menyebutkan karena wawasan terjauh manusia terbatas pada langit. Kenapa kita memaksakan diri meyakini Allah berlokasi/berposisi/bertempat di atas langit, sementara kita tidak pernah tahu ada apa di luar langit.



Post a Comment