Hukum Masjid Jadi Tempat Jual-Beli untuk Kepentingan Masjid & Umat | Brilly El-Rasheed | 082140888638
![]() |
082140888638 Terjemah Kitab Rahmatul-Ummah fi Ikhtilafil-A`immah |
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,
632 - " إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ؛ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ؛ فَقُولُوا: لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ؛ وَإِذَا رَأَيَتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيهِ ضَالَّةً؛ فَقُولُوا: لَا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْكَ " ؛ (ت ك) ؛ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ؛ (صح).
“Jika kalian melihat seseorang berjualan atau membeli di dalam masjid, katakanlah kepadanya, “Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perdaganganmu. Dan Jika kalian melihat seseorang mengumumkan kehilangan barangnya, katakanlah kepadanya, “Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu.”” [Jami’ At-Tirmidziyy, no. 1321; As-Sunan Al-Kubra li An-Nasa`iyy, 6/52; Shahih Ibnu Khuzaimah, 2/274; Al-Mustadrak li Al-Hakim, 2/65; Shahih Ibnu Hibban, 4/528; Al-Hakim berkata bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Muslim, walaupun tidak keluarkan oleh Ash-Shahihain. Adz-Dzahabiyy mendiamkannya; Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 632].
Setelah membawakan hadits ini, Imam At-Tirmidziyy berkata,
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِدِ
“Sebagian ulama mengamalkan hadits ini. Mereka membenci jual-beli di dalam masjid. Ini merupakan pendapat (Imam) Ahmad dan Ishaq. Sebagian ulama memberikan kelonggaran jual-beli di dalam masjid.’
Ucapan Imam At-Tirmidziyy ini benar dan tidak perlu heran meskipun ada komentar ‘miring’ dari Al-Mubarakfuriyy yang jelas tidak lebih ‘alim daripada Imam At-Tirmidziyy. Al-Mubarakfuriyy menyebut dalam Tuhfah Al-Ahwadziyy, Dan aku tidak mendapati dalil yang menunjukkan kelonggaran (jual-beli di dalam masjid). Dan hadits-hadits bab ini merupakan hujjah atas orang yang memberikan kelonggaran’.” Ketidaktahuan Al-Mubarakfuriyy bukan hujjah (bantahan) atas nukilan Imam At-Tirmidziyy tentang sebagian ulama yang membolehkan jual-beli di masjid.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَأَى حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ اشْتَرَيْتَ هَذِهِ فَلَبِسْتَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلِلْوَفْدِ إِذَا قَدِمُوا عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab melihat kain sutera (dijual) di dekat pintu masjid, lalu dia berkata, “Wahai, Rasulullah. Seandainya engkau membeli ini, lalu engkau memakainya pada hari Jum’at dan untuk (menemui) utusan-utusan jika mereka datang kepadamu”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang memakai ini hanyalah orang yang tidak memiliki bagian di Akhirat”. [Shahih Al-Bukhariyy, no. 886, kitab Al Jum’ah, Bab Memakai Pakaian Terbaik Yang Didapati].
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Tersebut di dalam riwayat Malik dari Nafi’ sebagaimana telah lalu di dalam kitab Al Jum’ah, (yakni hadits no. 886, Red), bahwa hal (kejadian) itu berada di pintu masjid. Sedangkan pada riwayat Ishaq dari Nafi’ pada Nasa’i (disebutkan) “bahwa Umar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di pasar, lalu dia melihat baju”; kedua riwayat itu tidak bertentangan, karena ujung pasar bersambung ke dekat pintu masjid”. [Fat-h Al-Bari, syarh hadits no. 5841].
Ulama yang membolehkan jual-beli di masjid bukan dalam rangka melanggar hadits Nabi yang kita bicarakan. Logika fiqihnya, jual-beli di masjid yang masif, terkesan masjid menjadi pasar, terang-terangan, menghilangkan kehormatan masjid, itulah esensi larangannya. Nalar fiqihnya, jika masjid tidak bisa menjadi solusi bagi penghidupan manusia, maka manusia akan menjauh dari masjid, terutama manusia-manusia yang sedang diuji kemiskinan oleh Allah. Rasionalitas fiqihnya, para takmir masjid, imam masjid, muadzdzin masjid, marbot masjid, semuanya mendapat gajian dari kotak infaq, dengan status bisyarah, bisa juga dipandang sebagai upah jasa. Alur pikir fiqihnya, dalam hadits tersebut Nabi tidak menyebut haram berjual beli di masjid secara sharih (gamblang/eksplisit).
Demi keterarahan ulasan, kita simak syarah hadits ini. Imam Abu Muhammad Muhammad ‘Abdurra`uf Al-Munawiyy Al-Akbariyy Asy-Syafi’iyy Al-Asy’ariyy menjelaskan, {Jika kalian melihat orang yang} yakni mukallaf {menjual atau membeli} yaitu membeli {di masjid maka katakanlah} yakni doakanlah atasnya, sebagai perintah anjuran (mandub), dan dikatakan statusnya wajib, dengan ucapan semisal {semoga Allah tidak memberi keutungan pada perdaganganmu} karena masjid adalah pasar Akhirat, siapa yang sebaliknya, menjadikan masjid sebagai pasar duniawi, maka sangat layak didoakan rugi dan terhalang dari keuntungan. Cara baca hadits ini bukan dengan berhenti pada kata la (sekali-kali tidak yang artinya pasti), seperti dibingungkan oleh sebagian orang bodoh (sehingga bacaan haditsnya menjadi pasti Allah memberi keberuntungan pada perdaganganmu). Maksud doa buruk di sini adalah tidak adanya keberuntungan dan penghasilan. Hal ini telah ditegaskan oleh sebagian ahli ilmu agama karena saking jelasnya, diantaranya Imam An-Nawawiyy dalam Al-Adzkar, beliau mengatakan, “Bab pengingkaran Nabi dan doa buruk atas orang yang mencari barang hilangnya di masjid atau menjual di masjid,” kemudian beliau menyebutkan hadits-hadits, hadits ini diantaranya. Diterangkan oleh sekelompok imam kami, disukai (mandub) bagi siapa yang melihat orang yang menjual atau membeli atau mencari barang hilang di masjid agar mendoakannya, “Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada perdaganganmu dan tidak menemukan barangmu.” Kemudian persoalan ini dan selanjutnya, sebenarnya dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar. Ada ketentuan-ketentuannya. Kalau sudah mendoakan buruk, lalu dia berhenti, cukup. Itulah yang diinginkan. Tapi kalau tidak juga berhenti, silakan ulangi doa buruk. Ini sesuai substansi hadits Tsauban, beliau mengulangi doa buruk tiga kali. {Dan jika kalian melihat orang yang mengumumkan} dengan fathah pada huruf awal kata yansyudu maknanya mencari-cari. {Di dalam masjid barang yang hilang} dengan huruf ta` marbuthah di akhir kata dhallah. Bisa juga untuk isim mudzakkar dan mu`annats. Dikatakan dalam kamus, “Kamu kehilangan sesuatu” jika kamu kehilangannya dan tidak mendapatkan petunjuk untuk menemukannya. Pada asalnya dalam tradisi bahasa Arab, kata dhallah dikhususkan pada hewan yang hilang. Yang diinginkan Nabi di sini adalah hilang (dha’a). {Maka katakanlah} kepadanya {semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu} atau “kamu tidak akan menemukannya” sebagaimana termaktub dalam sebuah riwayat. Kalimat doa buruk ini sebagai peringatan keras bagi pelakunya karena meninggalkan pengagungan terhadap masjid. Imam Muslim menambahkan, “Karena sesungguhnya masjid-masjid tidak dibangun untuk hal tersebut (duniawi). Yakni, masjid-masjid dibangun untuk mengingat Allah Yang Mulia, shalat, ilmu, saling mengingatkan dalam kebaikan, dan selainnya. Dan oleh karena meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, maka Nabi menisbatkan doa buruk atas pelakunya berupa tidak adanya keuntungan dan pendapatan, sebagai hukuman baginya agar tidak mendapatkan apa yang dia maksudkan. Juga sebagai tarhib (ancaman) dan tanfir (pengusiran) dari melakukan kegiatan serupa yang dimakruhkan dilakukan di masjid. Serta sebagai tanzih (penegasian). Menurut Asy-Syafi’iyy status hukumnya demikian kecuali karena alasan darurat. Para ulama madzhab Hanafiyyah mengikat hukum makruh jika melakukan jual-beli atau cari barang hilang di masjid terlalu banyak/sering. Nabi menyebutkan jual-beli sebenarnya menyebut segala bentu transaksi. Hal tersebut dilarang, sehingga transaksi apapun yang bersifat duniawi, maka lebih layak untuk dilarang. Doa buruk ini khusus bagi siapa yang sudah tahu larangan ini. Berbeda perlakukan jika dia dimungkinkan sudah belajar tentang larangan ini lalu mengabaikan. Adapun orang yang selainnya (belum belajar) maka bisa dimaafkan (secara Syari’at) sehingga tidak perlu didoakan buruk atasnya, justru diajari. Sekelompok ulama, diantaranya Al-Hafizh Al-’Iraqiyy mengikutkan aktifitas mensifati barang yang hilang ke dalam larangan mencari barang hilang. Dalam hal itulah para ulama madzhab Syafi’iyyah mengemukakan, “Boleh mensifati barang yang hilang itu tapi di pintu masjid.” Imam An-Nawawiyy mengungkapkan, “Dalam hadits ini terkandung kemakruhan mengumumkan barang yang hilang di masjid dan mengangkat suara di dalam masjid. Al-Qadhi ‘Iyadh menjelaskan, “Imam Malik dan sekelompok ulama menyatakan, “Hadits ini menunjukkan kemakruhan mengangkat suara di dalam masjid untuk pemberitahuan (selain ilmu agama), untuk pertengkaran dan untuk semacamnya." [Faidh Al-Qadir]
Post a Comment