Hukum Masjid Milik Orang Kafir dan Ahli Maksiat | Brilly El-Rasheed | 082140888638
Banyak klub sepak bola milik orang-orang kafir yang mendirikan masjid hanya karena ada salah satu pemainnya yang baru saja dibeli ternyata beragama Islam dan berkebutuhan masjid. Ada kerajaan kafir yang mendirikan masjid karena ada rakyatnya atau pegawainya yang muslim dan butuh masjid. Bandara, pelabuhan, terminal dan stasiun di negara-negara kafir dan dikelola oleh manajemen orang-orang kafir, mau tidak mau mendirikan masjid untuk memfasilitasi pemeluk agama Islam. Perusahaan-perusahaan milik dewan direksi yang seluruhnya kafir, termasuk hotel, mall, rumah sakit, dan lain-lain, kadang kala menyediakan ruang khusus untuk tempat shalat bahkan bangunan berlabel masjid yang dikelola karyawannya yang nonkafir alias muslim.
Allah berfirman, “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” [QS. At-Taubah : 18]
Ayat ini menunjukkan yang berhak memakmurkan masjid hanyalah orang muslim saja, bukan yang lain. Hal ini disebabkan sifat-sifat yang dilekatkan Allah kepada orang yang memakmurkan masjid, hanyalah sifat-sifat khusus muslim, yaitu beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, menegakkan shalat lima waktu, dan membayar zakat. [Tafsir Al-Qurthubiyy, 8/90-91]
”Tidak pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Mereka itu sia-sia amalnya, dan mereka kekal di dalam neraka.” [QS At-Taubah [9] : 17]
Yang dimaksud ”masjid-masjid Allah” (masâjidallah) dalam ayat ini adalah masjid secara umum, bukan hanya Masjidil Haram di Makkah. [Tafsir Al-Qurthubiyy, 8/89; Tafsir Ibnu Katsir, 4/119] Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir tidak berhak memakmurkan masjid, sebagaimana pendapat Syaikh Abu Ja’far, ”Sesungguhnya masjid-masjid dibangun untuk beribadah kepada Allah, bukan untuk kufur kepada Allah. Maka barangsiapa kafir kepada Allah, tidak berhak dia memakmurkan masjid-masjid Allah.” [Tafsir Ath-Thabariyy, 14/165]
Dalam hal ini kita mesti jeli. Allah melarang musyrik dan kafir memakmurkan masjid. Padahal musyrik dan kafir tidak tahu bagaimana pemakmuran masjid yang diminta Allah. Artinya, larangan ini terikat dengan kondisi mereka. Jadi Allah melarang musyrik dan kafir memakmurkan masjid adalah jika pemakmurannya berupa kegiatan kesyirikan dan kekafiran. Artinya jika musyrik dan kafir mensupport umat Islam memakmurkan masjid dengan kebaikan, apa salahnya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Wajib untuk menjauhkan rumah-rumah Allah dari harta yang buruk, sehingga harta ini tidak menjadi tempat yang dimuliakan” [Majmu’ Al-Fatawa, 32/88]
Allah Maha Baik dan hanya Menerima yang baik-baik. Allah tidak menerima persembahan hamba dari harta yang haram. Namun, bukan berarti harta haram tidak boleh dialokasikan untuk kebaikan secara mutlak. Manakala harta haram tidak diterima oleh para pelaku kebaikan demi syi’ar kebaikan maka pemilik harta haram akan mengalihkan kepada syi’ar keburukan. Bayangkan, betapa marah dan tersinggung serta sedih orang-orang yang ingin agar harta haramnya tidak lagi digunakan bermaksiat tapi kita tolak harta haramnya padahal mereka hanya ingin kebaikan. Memanglah hartanya haram tapi niat tulusnya tetap dihargai Allah.
Syaikh Al-Bujairamiyy mengungkapkan, "Sah waqafnya orang yang dianggap sah melakukan tindakan ekonomi yang hal itu (waqaf) dilakukan secara sukarela tanpa tekanan, karenanya maka dianggap sah pula waqafnya non-Muslim walau untuk masjid". [Tuhfah Al-Habib Hasyiyah Al-Bujairamiyy ‘ala Syarh Al-Khathib]
Andai harta haram tidak diambil untuk kebaikan tentu akan dimanfaatkan untuk keburukan. Sekian banyak konglomerat bingung membelanjakan hartanya untuk apa, halal-haram tidak paham, kalau tidak ada umat Islam yang mengarahkannya kepada kebaikan maka harta tersebut akan dipergunakannya untuk foya-foya tenggelam dalam dunia lantas lupa untuk berpartisipasi dalam kebaikan. Harta haram ‘hanyalah’ haram bagi individu, kegiatannya mencari harta haram juga haram, tapi Allah tidak terikat halal-haram, apalagi seluruh bumi dan segala kegiatannya diciptakan Allah, maka harta haram ‘menjadi’ halal bagi kepentingan agama Allah, meski pemilik harta haram tidak mendapat pahala shadaqah dari harta haram yang dishadaqahkannya kepada Allah.
Syaikh Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun membangun masjid itu sendiri, maka boleh yang membangunnya itu adalah orang yang baik, atau orang yang fajir (tidak taat), orang muslim, atau orang kafir. Yang demikian itu karena semuanya disebut “membangun” sebagaimana sabda Nabi, ”Barangsiapa membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di Surga.” [Majmû’ Al-Fatâwi, 17/268]
Imam Ibnu Muflih Al-Hanbaliyy berkata, “Boleh memakmurkan setiap masjid, memberikan kiswahnya, atau memberi penerangan padanya, dengan harta setiap orang kafir, boleh juga dia membangun masjid dengan tangannya...” [Al-Furû’, 11/478]
Imam Taqiyuddin Al-Hishniyy Al-Husainiyy Asy-Syafi’iyy berkata, “Boleh bagi seorang muslim dan kafir dzimmiyy berwasiat untuk memakmurkan Masjidil Aqsha dan masjid-masjid lainnya.” [Kifâyah Al-Akhyâr, 2/30]
Syaikh Bin Baz pernah berfatwa, “Dan masjid-masjid yang dibangun dengan harta haram atau dengan harta yang sebagiannya haram maka tidak mengapa shalat di dalamnya” [https://binbaz.org.sa/fatwas/13788/]
Lebih lengkapnya Syaikh Bin Baz menerangkan, “Dan masjid-masjid yang dibangun dengan harta haram atau dengan harta yang sebagiannya haram maka tidak mengapa sholat di situ, dan hukumnya tidak sama dengan hukum tanah rampasan, karena harta-harta yang sebagiannya haram atau seluruhnya haram disalurkan kepada perkara-perkara yang syar’iyy tidak dibuang dan tidak dibakar, akan tetapi disalurkan kepada penyaluran yang Syar’iyy, seperti shadaqah kepada para fuqara’, pembangunan masjid, pembangunan toilet, membantu para mujahidin, pembangunan jembatan, dan kemaslahatan kaum muslimin yang lainnya” [http://www.binbaz.org.sa/mat/15776]
Imam Al-Ghazaliyy menggariskan, “Bagian yang pertama adalah maksiat, yaitu yang tidak bisa berubah posisinya oleh adanya niat. ……. Seseorang yang membangun sekolah, masjid atau pondok dengan harta yang haram dengan niat berbuat kebajikan, maka semuanya itu tidak berpengaruh dalam melakukannya dari perbuatan aniaya dan maksiat.... Adapun masjid yang dibangun di tanah ghasaban (milik orang lain tanpa izin) atau menggunakan kayu ghasaban dari masjid lain atau milik orang tertentu, maka sama sekali tidak boleh memasukinya dan tidak boleh pula melaksnakan shalat jum’at. Bahkan andaikata ada imam yang shalat di masjid tersebut, maka makmum hendaknya shalat dibelakangnya di luar masjid. Dengan alasan karena shalat di tanah ghasaban dapat menggugurkan kewajiban dan sah menjadi makmum orang yang shalat ditanah ghasaban tersebut. Oleh karena itu diperbolehkan seseorang bermakmum dengan imam yang shalat ditanah ghasaban walaupun si imam berdosa berada disana”.
Hukum shalat di masjid yang dibangun dari barang haram adalah sah. Akan tetapi haram melakukan shalat tersebut, dan tidak mendapatkan pahala shalatnya, hanya saja telah gugur darinya kewajiban shalat.
Syaikh Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbiniyy menuturkan, “Gugurnya pahala sebuah amal tidak selalu menggugurkan kewajiban amal itu sendiri. Dasarnya, shalat di rumah hasil ghashab (zhalim) tetap sah dan menggugurkan kewajiban sehingga tidak perlu qadha meskipun tidak ada pahalanya menurut kebanyakan ulama,” [Mughn Al-Muhtaj ila Ma‘rifati Alfazh Al-Minhaj, Beirut, Dar Al-Ma’rifah, 1997 M/ 1418 H, juz IV, halaman 173).
Syaikh Syamsuddin Ar-Ramliyy mengajarkan, “Seorang mukallaf diperintahkan untuk shalat, bukan shalat di tanah rampasan. Bila ia melakukan shalat di rumah rampasan, maka ia telah mengerjakan shalat tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan meskipun shalatnya tetap sah,” [Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2003 M/ 1424 H, juz II, halaman 221]
Syaikh Ibnu Taimiyyah menjelaskan, “Jika harta telah diperoleh dengan cara yang tidak benar dan tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya yang sesungguhnya –sebagaimana kebanyakan harta para sulthon- maka membantu untuk menyalurkan harta-harta ini kepada perkara-perkara yang merupakan kemaslahatan kaum muslimin, seperti pembayaran untuk penjagaan di daerah-daerah perbatasan, untuk nafkah para mujahidin dan yang semisalnya, maka termasuk dalam menolong untuk perbuatan kebajikan dan ketaqwaan. Karena yang wajib bagi sulthon terhadap harta-harta tersebut –jika tidak mampu mengetahui para pemilik harta tersebut dan tidak mampu untuk mengembalikan kepada mereka dan kepada para ahli warisnya- maka hendaknya harta tersebut disalurkan untuk kemaslahatan kaum muslimin, tentunya disertai taubat jika sang shulton memang zhalim. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama seperti Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad, dan pendapat ini dinukil lebih dari seorang sahabat dan telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iyy” [Majmu’ Al-Fatawi 28/283-284]
Al-Imam An-Nawawiyy berkata, “Al-Ghazaliyy berkata, Jika ia memiliki harta haram dan ingin bertaubat dan berlepas dari harta tersebut maka jika harta tersebut ada pemiliknya maka wajib untuk dikembalikan kepadanya atau kepada wakilnya, jika pemiliknya telah meninggal maka harta tersebut wajib diserahkan kepada ahli warisnya. Dan jika pemiliknya tidak diketahui dan ia sudah putus asa untuk mengetahui pemiliknya maka hendaknya ia salurkan harta tersebut kepada kemaslahatan-kemaslahatan umum kaum muslimin, seperti pembuatan jembatan-jembatan, pondok-pondok, masjid-masjid, kepentingan jalan Makkah dan yang semisalnya yang mana kaum muslimin sama-sama menggunakannya. Jika tidak maka hendaknya ia shadaqahkan kepada seorang faqir atau sekelompok faqir… Dan jika ia menyalurkannya kepada orang faqir maka harta tersebut tidaklah haram bagi si faqir akan tetapi halal dan baik baginya… Dan Al-Ghazaliyy juga menukilkan pendapat ini dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para salaf yang lain, dari Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Harits Al-Muhasibiyy dan selain keduanya dari kalangan ahli wara’. Karena tidak boleh merusak harta haram ini dan melemparkannya di lautan, maka yang tersisa adalah disalurkan kepada kemaslahatan kaum muslimin” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab 9/351]
Membangun masjid butuh biaya besar. Jika harta orang kafir dan ahli maksiat tidak kita ‘rebut’ maksudnya kita ambil untuk kita bangunkan masjid atau untuk keperluan Islam maka harta mereka akan mereka gunakan untuk memusuhi Islam dan merugikan umat Islam. Para nabi semuanya, selain Nabi Muhammad, tidak pernah diizinkan Allah untuk memanfaatkan ghanimah sebagai harta yang halal, padahal ghanimah adalah rampasan perang, jelas milik orang-orang kafir, notabene harta mereka haram.
Persoalan apakah pemilik harta haram membangun masjid mendapatkan pahala atau tidak, itu ‘wilayah’ Allah, kita tidak bisa memvonis. Perihal ketulusan niat pemilik harta haram dalam mensupport dan membangun masjid, hanya Allah yang tahu dan berhak menilai. Yang pasti, setiap harta haram maupun halal masuk ke dalam kepentingan Islam termasuk masjid maka Islamlah yang diuntungkan. Islam menjadi jaya meski Islam tetap mengharamkan apa saja yang halal dan tidak menghargai harta haram.
Syaikh Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawiyy menerangkan, Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat di tanah yang dirampas (ghasab) tidak sah dan menjadi batal, serta orang yang shalat di dalamnya wajib mengulang shalatnya di tempat lain yang bukan tanah rampasan, dan ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab Hanbaliyy. Sedangkan ulama lain —dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi‘iyyah— berpendapat bahwa orang yang shalat di tanah rampasan berdosa karena melakukannya di tempat terlarang, tetapi shalatnya tidak batal. Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menyebutkan dua riwayat dari Imam Ahmad tentang shalat tersebut, dengan mengatakan, “Kami berpendapat bahwa shalat adalah ibadah yang dilakukan dengan cara yang dilarang, maka tidak sah, sebagaimana shalat dan puasa perempuan haid; sebab larangan menunjukkan keharaman perbuatan itu, keharusan menjauhinya, dan berdosa bila melakukannya. Maka bagaimana mungkin seseorang menjadi taat dengan sesuatu yang ia lakukan dalam keadaan maksiat, mendekatkan diri dengan sesuatu yang justru menjauhkannya? Sesungguhnya gerakan-gerakannya dalam berdiri, ruku’, dan sujud adalah perbuatan pilihan yang dengannya ia bermaksiat dan terlarang.” Imam Asy-Syiraziyy dalam Al-Muhadzdzab berkata, “Tidak boleh shalat di tanah rampasan, karena berdiam di dalamnya haram di luar shalat, maka dalam shalat lebih utama lagi haram; tetapi jika ia shalat di dalamnya, maka shalatnya sah, sebab larangan itu tidak khusus pada shalat, maka tidak menghalangi kesahihannya.” Imam An-Nawawiyy dalam Syarh Al-Muhadzdzab berkata, “Shalat di tanah rampasan haram menurut ijma’, namun sah menurut kami dan mayoritas fuqaha serta ahli usul; sementara Ahmad bin Hanbal, Al-Jubba’iyy, dan selainnya dari kalangan Mu‘tazilah berpendapat batal. Ahli ushul berdalil atas mereka dengan ijma’ ulama terdahulu.” Al-Ghazaliyy berkata dalam Al-Mustashfa, “Masalah ini bersifat qath‘iyy, karena yang menilai shalat itu sah berdalil dengan ijma’ yang bersifat pasti, sementara yang membatalkannya berdalil dengan pertentangan antara pendekatan diri dan maksiat, dan menganggap hal itu mustahil secara akal. Sedangkan yang menilai shalatnya sah berkata, seseorang itu berdosa dari satu sisi, tetapi mendekatkan diri kepada Allah dari sisi lain dengan perbuatannya yang mengandung maksiat itu.” An-Nawawiyy juga menukil perbedaan pendapat di kalangan Syafi‘iyyah: apakah shalat seperti itu berpahala atau tidak; sebagian mengatakan kewajiban shalatnya gugur tanpa pahala, dan sebagian lain mengatakan ia mendapat pahala atas amalnya namun berdosa karena berada di tempat maksiat. Perbedaan pendapat para imam ini menunjukkan pentingnya agar masjid dibangun di tanah yang baik, dimiliki secara sah oleh pembangunnya, atau disumbangkan oleh pemilik yang sah, baik berupa tanah mati (tanah kosong yang belum dimiliki) atau tanah milik negara dengan izin resmi untuk dibangun masjid. Hal ini karena syariat Islam menghormati hak milik individu, dan siapa pun yang kepemilikannya telah sah secara syar‘i, maka tidak boleh dirampas secara zhalim dengan alasan apa pun, sekalipun untuk membangun masjid, kecuali jika pemiliknya rela dengan penjualan atau hibah; jika tidak, maka hal itu termasuk dosa besar di sisi Allah Ta‘ala. Tidak mengapa masjid dibangun dari harta yang asalnya haram, apabila pemiliknya telah membersihkan diri darinya, seperti bunga bank yang terkumpul padanya di lembaga riba, atau harta warisan dari ayah atau kakek yang haram sumbernya; harta tersebut haram dimanfaatkan oleh orang yang memperolehnya, namun halal bagi fakir miskin dan lembaga-lembaga kebaikan, termasuk masjid dan semacamnya. Telah keluar fatwa dari Majma‘ Al-Fiqhiyy Rabithah Al-‘Ālam Al-Islāmīyy tentang hal ini. [https://www.al-qaradawi.net/node/3868]



Post a Comment